Senin, 19 Januari 2015

Plester untuk Rama







Tak pernah aku merasakan rindu yang sederas ini, seperti air sungai yang mengalir menuju samudera. Namun aku hanya bisa berdo’a di temani alunan angin yang berbisik dan daun kering bergemerisik.
###
Dulu aku selalu tertarik dengan pria pintar dan kutu buku. Lalu dia, lelaki itu, menjadi suatu pengecualian. Aku pertama kali melihatnya di sebuah pertandingan basket antar sekolah. Diriku seolah tersihir dengan kelincahan dirinya saat men-drible bola, tatapan matanya yang tajam, senyum dibibirnya yang menawan, serta ayunan tangannya yang anggun ketika ia melemparkan bola basket ke ring.

Dua hari yang lalu aku melihatnya di taman dekat sekolah, ia sedang duduk dibangku sebuah taman disudut sekolah, ditemani bola basketnya yang kumal. Dia seperti tengah meringis kesakitan, wajahnya penuh luka serta lebam. Lalu entah apa yang aku pikirkan, kakiku melangkah menghampirinya dan menyodorkan sapu tangan linenku dan selembar plester. Aku hampir tak percaya bahwa orang yang ada di hadapanku adalah lelaki yang aku kagumi saat dilapangan basket. Ia tampak berbeda. Orang yang aku kagumi mempunyai sorot mata yang tajam. Sedangkan yang ada di hadapanku sorot matanya sendu.
Mata sendunya menengadah menatapku, dan tatapan kami pun bertemu beberapa saat. Seolah-olah waktu berhenti seketika, ada degupan kencang dari dalam dada ketika mataku menatap mata sendunya. Dan waktu seakan kembali berdetik, aku membungkukkan badan dan menaruh plester dan sapu tangan itu dibangku, lalu melangkahkan kaki dengan cepat meninggalkan taman, mulutku tak bersuara sedikitpun. Oh betapa bodohnya aku, apa yang sudah aku lakukan barusan!
###
Sore itu, dari kejauhan aku bisa mengenali sosok itu. Tubuhnya menjulang tinggi dengan rambut model peaked cut  mirip Jacob Black. Dia berdiri didekat gerbang sekolah lengkap dengan bola basketnya. Aku berusaha menghindarinya, jangan sampai ia melihatku. Aku menyembunyikan wajahku di balik topi jaketku, lalu berjalan melewatinya menunduk dan pura-pura tak melihat.
“Hey! Mau kemana?” Aku terperanjat kaget. Dia menarik ranselku. Membuat langkahku terhenti. Lalu, sedetik kemudian dia sudah di hadapanku, tangan kirinya terulur mengambil lengan kananku lalu ia meletakan satu kaleng jus dingin di telapak tanganku.
“Ma..kasih” Kata ku terbata. Tanganku sedikit bergetar.
“Harusnya aku yang bilang makasih untuk ini.” Ia pun menujuk plester yang merekat di pipinya yang lebam. Plester yang aku beri dua hari lalu.
“Dan ini... ” ia mengembalikan sapu tangan berbahan linen itu kepadaku “Dijamin udah di cuci bersih” ucapnya sambil tersenyum.
Aku meraih sapu tangan itu lalu mengangguk A..ku duluan ya” kataku cepat. Aku beranjak dengan langkah kikuk. Jantungku berdegup kencang.  
“Hey tunggu! Nama kamu siapa?” Ia berteriak memanggilku.
Gerakanku terhenti, lalu aku menoleh memandangnya sebentar “Amora” Sahutku.
“Sampai ketemu besok”  satu tangannya di biarkan melambai kearahku. Mataku membeliak seolah aku tak percaya dengan apa yang barusan ku dengar, aku membalas lambaianya dengan ragu, lalu berbalik dan mempercepat langkahku. Sial! Karena terlalu gugup aku sampai lupa bertanya siapa namanya. Namun sore menyenangkan itu selalu terulang, semenjak hari itu ia selalu menungguku di depan gerbang sekolah dan aku tahu nama lelaki itu. Rama.
###
Biasanya aku duduk sendirian di pojok perpustakaan di bangku dekat jendela, sekedar membaca buku pelajaran atau novel di sela-sela jam istirahatku. Namun siang itu aku harus rela berbagi bangku. Seseorang duduk disana, melamun sendirian sambil menatap kearah jendela.
“Rama?” Sosok itu terduduk tegak. Seperti terbangun dari lamunannya Rama menoleh ke arahku sambil tersenyum tipis. Seperti hari-hari sebelumnya aku selalu menemukan memar dan lebam wajahnya, kali ini lingkar biru menghiasi bawah matanya, serta dagu yang terluka.
“Astaga!” Aku memekik. Muka kamu kenapa lagi?” Aku segera mengeluarkan sebungkus tisu dan beberapa lembar plester dari ranselku. Ya! Aku sengaja menyediakan semuanya untuknya.
Dia tertawa kecil melihat plester-plester itu.
“Kenapa ketawa?” dahiku berkerut.
“Gak kok. Syukurlah, kamu sekarang bawa plester warna cokelat, gak kayak kemarin-kemarin motif boneka” Ujarnya sambil terkekeh.
“Yee, kemarin cuma itu aku punyatimplaku sambil merajuk. “Kamu habis berantem lagi ya...” Aku tak habis pikir lelaki didepanku ini selain suka bermain basket ternyata ia pun suka berkelahi “Jangan-jangan kamu ikutan gengster” kataku asal, sembari membantu menempelkan plester di dagunya yang terluka.
“Bisa di bilang begitu sih” sahutnya singkat. Sekarang mata kami beradu. Wajah kami sangat berjarak beberapa senti saja “Kenapa? Kamu takut?” katanya tiba-tiba.
Aku terdiam lalu ku ambil buku tebal kumpulan soal-soal ujian akhir nasional lalu berpura-pura mempelajarinya dan mengabaikan pertanyaannya itu.
“Kamu rajin juga ya.” ujarnya lagi, mencoba mengalihkan perhatianku.
“UN kan bentar lagi, terus aku harus lulus masuk kedokteran” Ucap ku pelan, mata kami pun beradu lagi. Bola matanya yang cokelat menatapku dan senyum mengembang dibibirnya. Aku menjadi merasa rikuh.
“Yuk, kita belajar di luar aja” ia menarik buku tebal itu dari gengamanku lalu beranjak.
“Hei! mau dibawa kemana?” protesku, “Cepet balik…” tangan kanannya menyambar tanganku lalu menggengamnya dengan erat. Membuat mulutku bungkam seketika. Ia menggiringku pelan. Belasan pasang mata di perpustakaan itu secara refleks mengamati kami berdua. Aku menunduk, menyembunyikan wajahku yang tiba-tiba terasa panas dan memerah. Aku tak tahu jika Rama menyadari perubahan ini dari diriku, rasanya denyut jantungku pindah ke tangan yang di genggamnya, semoga ia tak menyadari denyutan itu. 
###
Hampir setiap hari kami bereteu di sekolah, jika tidak bertemu dengannya sehari saja rasanya seperti ada yang terlewat atau ada yang kurang. Sore itu sepulang sekolah aku menemui Rama di lapangan basket, dan aku memutuskan untuk melihatnya bermain basket lebih lama. Aku malas pergi mengikuti bimbel hari ini, pelajaran tambahan di sekolah sudah cukup membuat kepalaku berasap.
Kamu gak bimbel?” Kata Rama, ia duduk di sampingku lalu minum air dingin dari botol minumannya. Aku menggelang, lalu menoleh kearahnya, dan kusentuh pipinya. Luka-luka itu tak pernah absen muncul di wajahnya, dan itu membuatku semakin khawatir;
“Ram…” Kataku pelan. Ia menoleh kearahku “…Aku pengen kamu berehenti berantem dan keluar dari gengster” Kataku, lalu menarik nafas dalam “Aku pengen liat kamu ikut pertandingan basket lagi”
Semenjak Rama datang ke sekolah dengan wajah penuh luka dan memar, Rama  terpaksa didiskualifikasi dari anggota tim bola basket. Kini ia tidak boleh ikut latihan dan dicap sebagai siswa bermasalah. Semenjak itu ia selalu bermain basket sendirian, tak pernah lagi aku melihat tatapan matanya yang tajam serta senyumnya yang menawan saat pertama kali aku melihatnya.
“Aku pengen berenti Ra, tapi gak bisa, aku ga bisa keluar dari situasi ini” Kata Rama, mata sendunya menerawang.
“Emang kamu gak pengen jadi pemain basket professional?” Tanyaku penasaran.
Rama menggelang “Gak lagi..” Hening sejenak “…Aku cuma pengen lulus UN aja” Rama tersenyum samar.
“Apa? Cuma lulus UN doang? Kamu pasti bercanda” Aku menatapnya tak percaya.
Aku gak bercanda. Keinginan aku cuma itu!” Rama berkata getir.
“Tapi aku pengen liat kamu kayak dulu lagi, main basket lagi! gak kayak gini! Jadi tukang berantem!” Aku berseru tak kuasa menahan emosiku.
“Itu pengennya kamu! Tapi aku gak lagi Ra! Jangan naro harapan besar ama aku, kamu gak tahu apa-apa!!Suara Rama terdengar emosional “kamu fokus ama tujuan kamu, jangan urusin aku Ra”
Aku menatap Rama tak mengerti. Kata-katanya sungguh seperti pedang yang yang menusuk dan aku merasa sakit, kata-kata Rama seolah meruntuhkan semuanya. Dengan tangan gemetar aku meraih tasku, lalu menyandangkan tasku di bahu. Siap pergi meninggalkan Rama. Aku segera berjalan dengan cepat tanpa menolehnya lagi. Aku kecewa dengan sikapnya, ya mungkin dia benar aku tak tahu apa-apa. Aku salah menilainya, dia bukanlah sosok yang aku kenal saat ia bermain basket kala itu.
###
Satu bulan menuju Ujian Nasional, para murid dan para guru semakin sibuk, jam pelajaran pun di tambah, try out – try out diadakan. Hari-hariku semakin sibuk dengan semua itu, namun ada yang membuatk hatiku gelisah. Hubungan aku dan Rama tak membaik, semenjak kejadian itu kami tak pernah bicara lagi, dan dua minggu terakhir aku tak pernah sekalipun melihatnya di sekolah.
Setelah mengikuti pelajaran tambahan. Tiba-tiba Tita, teman sebangkuku bertanya “Ra, lo pacaranya, sama si Rama anak kelas XII Ipa 4 itu?” ucap Tita dengan mata berbinar penuh rasa penasaran. Aku tak menjawab hanya tersenyum simpul. Ternyata kedekatan kami telah menjadi gosip baru di sekolah ini.
Gue saranin lo jangan mau ama dia. Dia itu bermasalah, Liat aja mukanya tiap hari babak belur gituh, dan gue denger dia mau di keluarin dari sekolah dan ga boleh ikut ujian, kalo dia bolos lagi besok tanpa keterangan” Aku pun tertegun mendengarnya dan itu mengusikku.
“Iya ta, makasih udah mau ngingetin gue. Eh, gue ke perpus dulu ya ada buku yang ketinggalan” aku berbohong.  
Kini kepalaku sibuk memikirkan Rama, dan itu membuat hatiku jadi tak karuan. Aku merasa bersalah karena meninggalkannya begitu saja dengan rasa marah.  Ia pasti terluka dengan sikapku yang tak mau mengerti. Aku sangat menyayanginya, aku tak bisa berhenti untuk peduli, seharusnya aku selalu mendukungnya. Ya Tuhan, apa yang telah aku perbuat, sesaat aku merasa aku adalah orang jahat dan egois.
Sore itu tanpa pikir panjang, kuseret kakiku menuju alamat rumah yang diberikan ketua kelas XII Ipa 4. Bagaimanpun Rama harus lulus UN seperti yang ia inginkan, bagaimanapun aku harus membantunya karena aku tak bisa berhenti memikirkannya.
Jalanan di daerah rumah Rama terasa sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Lalu di pojok jalan, aku menemukan alamat yang kutuju, rumah itu telihat tak terurus dan berantakan, rumput-rumputnya dibiarkan tumbuh tinggi, daun-daun kering berseraan dimana-mana. Muncul banyak pertanyaan di kepalaku. aku mencoba mengetuk pintu rumah itu, sampai ketukan ke tiga tak ada yang membukakan pintu, aku mencoba mengintip dari jendela, tapi tak banyak yang aku bisa lihat. Aku pun mendesah dan merasa usahaku sia-sia dan memutuskan pulang.
Sesaat aku berbalik badan dan berjalan menuju pagar, aku melihat cowok berseragam SMA berdiri dihadapanku, tangannya melambai kerahku. Tapi ada sesuatu yang janggal. Aku berjalan menghampirinya. Seragamnya kotor oleh darah, pelipisnya sobek,  bibirnya membiru,  darah pun keluar dari mulutnya.
Rama?!! kamu kenapa?!!” Rama pun terduduk, ia tak mampu menopang tubuhnya lagi.
Siapa yang bikin kamu kayak gini?!!!” aku mencoba menghentingkan darah yang terus keluar dari pelipisnya dengan sapu tanganku. Matanya kini berair dengan sorot kesedihan yang dalam “Kita kerumah sakit sekarang ya? Terus kita lapor polisi” kataku sambil mencoba mencari bantuan.
Rama menggeleng, ada gurat kesedihan di wajahnya. “Ja..ngan Ra. Janji Ra jangan bawa masalah ini ke Polisi” ucapnya lemas dan terbata, Ini pertama kalinya aku melihatnya menangis.
“a..aku janji, tapi siapa yang bikin kamu kayak gini?” Mataku terasa panas, akupun tak kuasa menahan air mataku.
“Jangan nangis, Ra.” Tangan kanannya terangkat dan menyentuh pipiku yang basah. Akupun memeluknya sambil mengucapkan kata maaf berkali-kali.
###
Aku berdiri diam menatap Rama yang sedang terbaring di rumah sakit. Akhirnya ia bisa tertidur tenang, setelah Ayahku memberinya obat penahan sakit. Ayahku yang seroang dokter berkata jika luka Rama cukup parah namun tidak terlalu parah, ia hanya butuh beristirahat untuk beberapa waktu.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” Kata ayahku penasaran, ketika memeriksa kondisi Rama malam itu.
Aku menggeleng “Aku tidak yakin, pah, mungkin saja dia diserang oleh gangster dijalan” kataku dengan suara parau.
“Kau sudah hubungi orang tuanya?”
“Belum…” kataku menggeleng “…saat itu rumahnya kosong, aku tak tau harus menghubungi kemana”
Ayahku menyentuh pundakku “Dia pasti baik-baik aja, kamu gak usah khawatir”
“Makasih pah..makasih banyak” Aku pun memeluk Ayah, rasanya ingin sekali menangis, namun aku berusaha menahannya.
Dua minggu setelah itu, Rama sembuh total. Rama tak ingin kejadian itu di perkarakan ke polisi, menurutnya dia hanyalah korban anak-anak geng kampung saja. Ia pun tak ingin ayahnya sampai tahu menahu tentang kejadian itu. Saat itu Rama banyak memberitahu tentang kehidupannya yang seorang piatu dan hanya tinggal bersama ayahnya. Ia sebenarnya anak yang mandiri karena ia sering sekali ditinggal ayahnya pergi keluar kota untuk bekerja. Aku ingin mengetahui tentang dirinya lebih banyak lagi.
“Kamu benar-benar ingin jadi dokter ya” Mata cokelatnya menatapku. Aku pun mengangguk mantap. Wajahnya terlihat tampan dan tanpa memar.
kalo kamu?, apa cita-cita kamu?” akhirnya aku bertanya.
Dia tak menjawab, dia hanya tersenyum simpul “Nanti deh jawabnya lewat email, nanti aku ceritain semuanya” Cengiran muncul di wajahnya.
Aku tertawa “Kenapa gak sekarang aja?”
Ia tak menjawab dan malah terkekeh. Sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Ada semburat merah di wajahnya. Aku tak berhenti menatapnya, aku ingin melihat wajahnya yang ceria setiap hari.
“Aku bakal kangen suasana sekolah, lapangan basket, perpustakaan, kantin dan taman. Aku gak akan lupa” aku tersenyum lebar.
“Lapangan Basket, taman, bangku ini, plester dan ...kamu. aku gak bakal lupa” mendengar kata-kata Rama membuatku  termanggu. Pelupuk mataku terasa hangat dan berkaca-kaca. Ku bungkus kata-kata Rama tadi dan kusimpan dalam hati sampai sekarang. Itulah pertemuan kami di hari kelulusan dan sekaligus menjadi pertemuan terakhir kami, sebelum aku pindah ke Jogja melanjutkan studi kedokteranku.
###
Rasanya waktu mengalir begitu deras seperti air sungai yang berlari menuju samudera. Dia selalu menepati janji mengirimi aku email, namun kali ini ia  mengirimku sepucuk surat yang menyatakan perasaan rindu dan sayangnya kepadaku, mengatakan bahwa ia bukan seorang gangster, ia sebenarnya ingin menjadi seorang atlit profesional. Rama yang terpaksa menimbun semua harapannya, Rama yang menyembunyikan semua rahasianya selama ini tentang sang Ayah yang sebenarnya selalu memukulnya setiap hari.
Aku tak tahan menahan air mataku lagi ketika membaca surat itu. Semenjak itu Rama menghilang tanpa jejak seperti air yang menguap. Aku tak bisa menghubunginya. Sampai akhirnya aku mendapat kabar dari orang tuaku di Jakarta. Kali ini ia tak selamat, Ia tak bisa lepas dari gengaman ayahnya yang pemabuk yang selalu membuatnya terluka setiap hari.  
Sore itu suasana semakin sendu di tambah semburat warna jingga yang mewarnai langitnya. Angin berhembus menyentuh rambutku. Burung Gereja hinggap di batu nisan itu, lalu terbang kembali melawan angin. Aku masih terduduk kaku, berulang-ulang membaca nama yang terukir disana. Angin dingin berhembus menyentuh kulitku seolah menembus pori, merasuk nadi dan meninggalkan perasaan kehilangan yang menjalar kesuluruh tubuh, mendadak aku menggigil, air mataku deras mengalir, bibirku kelu,  aku sungguh merindukan senyuman Rama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar