Tak pernah aku merasakan rindu yang
sederas ini, seperti air sungai yang mengalir menuju samudera. Namun aku hanya
bisa berdo’a di temani alunan angin yang berbisik dan daun kering bergemerisik.
###
Dulu aku selalu tertarik dengan
pria pintar dan kutu buku. Lalu dia, lelaki itu, menjadi suatu pengecualian. Aku pertama
kali melihatnya
di sebuah pertandingan basket antar sekolah.
Diriku seolah tersihir dengan kelincahan dirinya
saat men-drible bola, tatapan matanya yang tajam,
senyum dibibirnya yang menawan,
serta ayunan tangannya yang anggun ketika ia melemparkan bola
basket ke ring.
Dua hari yang lalu aku melihatnya
di taman dekat sekolah, ia sedang duduk dibangku sebuah taman disudut sekolah, ditemani bola basketnya yang
kumal. Dia seperti tengah meringis kesakitan, wajahnya penuh luka serta lebam.
Lalu entah apa yang aku pikirkan, kakiku melangkah menghampirinya dan menyodorkan sapu tangan linenku dan
selembar plester. Aku hampir tak percaya bahwa orang yang ada di hadapanku
adalah lelaki yang aku kagumi saat dilapangan basket. Ia tampak berbeda. Orang
yang aku kagumi mempunyai sorot mata yang tajam. Sedangkan yang ada di
hadapanku sorot matanya sendu.
Mata sendunya menengadah menatapku, dan tatapan
kami pun bertemu beberapa saat. Seolah-olah waktu berhenti seketika, ada
degupan kencang dari dalam dada ketika mataku menatap mata sendunya. Dan waktu
seakan kembali berdetik, aku membungkukkan badan dan menaruh plester dan sapu
tangan itu dibangku, lalu melangkahkan kaki dengan cepat meninggalkan taman, mulutku
tak bersuara sedikitpun. Oh betapa bodohnya aku, apa yang sudah aku lakukan
barusan!
###
Sore itu, dari kejauhan aku bisa
mengenali sosok itu. Tubuhnya menjulang tinggi dengan rambut model peaked cut mirip Jacob Black. Dia berdiri didekat gerbang sekolah lengkap dengan bola
basketnya. Aku berusaha menghindarinya, jangan sampai ia melihatku. Aku menyembunyikan
wajahku di balik
topi jaketku,
lalu berjalan melewatinya menunduk dan pura-pura tak melihat.
“Hey! Mau kemana?” Aku terperanjat
kaget. Dia menarik ranselku. Membuat langkahku terhenti. Lalu, sedetik kemudian
dia sudah di hadapanku, tangan kirinya
terulur mengambil lengan kananku lalu ia meletakan satu kaleng jus dingin di telapak tanganku.
“Ma..kasih” Kata ku terbata. Tanganku sedikit bergetar.
“Harusnya aku yang bilang makasih
untuk ini.” Ia pun menujuk plester yang merekat di pipinya yang lebam. Plester
yang aku beri dua hari lalu.
“Dan ini... ” ia mengembalikan sapu tangan berbahan linen itu kepadaku “Dijamin udah
di cuci bersih” ucapnya sambil tersenyum.
Aku meraih sapu tangan itu lalu
mengangguk “A..ku duluan ya” kataku cepat. Aku beranjak dengan langkah kikuk. Jantungku berdegup
kencang.
“Hey tunggu! Nama kamu siapa?” Ia berteriak
memanggilku.
Gerakanku terhenti, lalu aku
menoleh memandangnya sebentar “Amora” Sahutku.
“Sampai ketemu besok” satu tangannya di biarkan melambai kearahku. Mataku membeliak seolah aku tak percaya dengan apa
yang barusan ku dengar, aku membalas lambaianya dengan
ragu, lalu berbalik dan
mempercepat langkahku. Sial!
Karena terlalu gugup aku sampai lupa bertanya siapa namanya. Namun sore menyenangkan
itu selalu terulang,
semenjak hari itu
ia selalu menungguku di depan gerbang sekolah dan aku tahu nama lelaki itu.
Rama.
###
Biasanya aku duduk sendirian di
pojok perpustakaan di bangku dekat jendela, sekedar membaca buku pelajaran atau
novel di sela-sela jam istirahatku. Namun siang itu aku harus rela berbagi
bangku. Seseorang duduk disana, melamun sendirian sambil menatap kearah
jendela.
“Rama?” Sosok itu
terduduk tegak. Seperti terbangun dari
lamunannya Rama menoleh ke arahku
sambil tersenyum tipis. Seperti hari-hari sebelumnya aku selalu menemukan memar dan lebam wajahnya, kali ini lingkar
biru menghiasi bawah matanya, serta
dagu yang terluka.
“Astaga!” Aku memekik. “Muka kamu kenapa lagi?” Aku segera
mengeluarkan sebungkus tisu dan beberapa lembar plester dari ranselku. Ya! Aku
sengaja menyediakan semuanya untuknya.
Dia tertawa kecil melihat plester-plester itu.
“Kenapa ketawa?” dahiku berkerut.
“Gak kok. Syukurlah, kamu sekarang
bawa plester warna cokelat, gak kayak kemarin-kemarin motif boneka” Ujarnya
sambil terkekeh.
“Yee, kemarin cuma itu aku punya” timplaku sambil merajuk. “Kamu habis berantem lagi ya...”
Aku tak habis pikir lelaki didepanku ini selain suka bermain basket ternyata ia pun suka berkelahi “Jangan-jangan kamu
ikutan gengster” kataku asal, sembari membantu menempelkan plester di dagunya
yang terluka.
“Bisa di bilang begitu sih”
sahutnya singkat. Sekarang mata kami beradu. Wajah kami sangat berjarak
beberapa senti saja
“Kenapa? Kamu takut?” katanya tiba-tiba.
Aku terdiam lalu ku ambil buku
tebal kumpulan soal-soal ujian akhir nasional lalu berpura-pura mempelajarinya dan mengabaikan
pertanyaannya itu.
“Kamu rajin juga ya.” ujarnya lagi,
mencoba mengalihkan perhatianku.
“UN kan bentar lagi, terus aku
harus lulus masuk kedokteran” Ucap ku pelan, mata kami pun beradu lagi. Bola matanya
yang cokelat menatapku dan senyum mengembang dibibirnya. Aku menjadi
merasa rikuh.
“Yuk, kita belajar di luar aja” ia
menarik buku tebal itu dari gengamanku lalu beranjak.
“Hei! mau
dibawa kemana?” protesku, “Cepet balik…” tangan kanannya menyambar tanganku lalu menggengamnya
dengan erat. Membuat mulutku bungkam seketika. Ia
menggiringku pelan. Belasan pasang mata di perpustakaan
itu secara refleks mengamati kami berdua. Aku menunduk, menyembunyikan wajahku
yang tiba-tiba terasa panas dan memerah. Aku tak tahu jika Rama menyadari
perubahan ini dari diriku, rasanya denyut jantungku pindah ke tangan
yang di genggamnya, semoga ia tak menyadari denyutan itu.
###
Hampir setiap hari kami
bereteu di sekolah, jika tidak bertemu dengannya sehari saja rasanya seperti
ada yang terlewat atau ada yang kurang. Sore itu sepulang sekolah aku menemui Rama
di lapangan basket, dan aku memutuskan untuk melihatnya bermain basket lebih
lama. Aku malas
pergi mengikuti bimbel hari ini, pelajaran tambahan di sekolah sudah cukup
membuat kepalaku berasap.
“Kamu gak bimbel?” Kata Rama, ia duduk di sampingku
lalu minum air dingin dari botol minumannya. Aku menggelang, lalu menoleh kearahnya, dan kusentuh pipinya.
Luka-luka itu tak pernah absen muncul di
wajahnya, dan itu membuatku semakin
khawatir;
“Ram…” Kataku pelan. Ia menoleh kearahku “…Aku
pengen kamu berehenti berantem dan keluar dari gengster…” Kataku, lalu
menarik nafas dalam “…Aku
pengen liat kamu ikut pertandingan basket lagi”
Semenjak
Rama datang ke sekolah dengan wajah penuh luka dan memar, Rama terpaksa didiskualifikasi dari anggota tim
bola basket. Kini ia tidak boleh ikut latihan dan dicap sebagai siswa
bermasalah. Semenjak itu ia selalu
bermain basket sendirian, tak pernah lagi aku melihat tatapan matanya yang
tajam serta senyumnya yang menawan saat pertama kali aku melihatnya.
“Aku
pengen berenti Ra, tapi gak bisa, aku ga bisa keluar dari situasi ini” Kata
Rama, mata sendunya menerawang.
“Emang
kamu gak pengen jadi pemain basket professional?” Tanyaku penasaran.
Rama menggelang “Gak lagi..” Hening sejenak “…Aku
cuma pengen lulus UN aja”
Rama tersenyum samar.
“Apa?
Cuma lulus UN doang? Kamu pasti bercanda” Aku menatapnya tak percaya.
“Aku gak bercanda. Keinginan aku cuma itu!” Rama
berkata getir.
“Tapi aku pengen liat kamu kayak dulu lagi, main
basket lagi! gak kayak gini! Jadi tukang berantem!” Aku berseru tak kuasa
menahan emosiku.
“Itu pengennya kamu! Tapi aku gak lagi Ra! Jangan naro
harapan besar ama aku, kamu gak tahu apa-apa!!” Suara Rama terdengar emosional “kamu fokus ama tujuan
kamu, jangan urusin aku Ra”
Aku
menatap Rama tak mengerti. Kata-katanya
sungguh seperti pedang yang yang menusuk dan aku
merasa sakit, kata-kata
Rama seolah meruntuhkan semuanya.
Dengan tangan gemetar aku meraih tasku, lalu menyandangkan tasku di bahu.
Siap pergi meninggalkan Rama. Aku segera berjalan dengan cepat tanpa menolehnya
lagi. Aku kecewa dengan sikapnya, ya mungkin dia benar aku tak tahu apa-apa. Aku salah menilainya, dia bukanlah sosok
yang aku kenal saat ia bermain basket kala itu.
###
Satu bulan
menuju Ujian Nasional, para murid dan para guru semakin sibuk, jam pelajaran
pun di tambah, try out – try out
diadakan. Hari-hariku semakin sibuk dengan semua itu, namun ada yang membuatk
hatiku gelisah. Hubungan aku dan Rama tak membaik, semenjak kejadian itu kami
tak pernah bicara lagi, dan dua minggu terakhir aku tak pernah sekalipun
melihatnya di sekolah.
Setelah
mengikuti pelajaran tambahan. Tiba-tiba Tita, teman sebangkuku bertanya “Ra, lo pacaranya, sama si Rama
anak kelas XII Ipa 4 itu?” ucap Tita dengan mata berbinar penuh rasa penasaran. Aku tak
menjawab hanya tersenyum simpul. Ternyata kedekatan kami telah menjadi gosip
baru di sekolah ini.
“Gue saranin lo jangan mau ama dia. Dia itu bermasalah, Liat aja mukanya tiap hari babak belur gituh, dan gue denger dia mau di
keluarin dari sekolah dan ga boleh ikut ujian, kalo dia bolos lagi besok tanpa
keterangan” Aku pun tertegun mendengarnya dan itu mengusikku.
“Iya ta,
makasih udah mau ngingetin gue. Eh, gue ke perpus dulu ya ada buku yang ketinggalan” aku
berbohong.
Kini kepalaku sibuk memikirkan Rama, dan
itu membuat hatiku jadi tak karuan. Aku merasa bersalah karena meninggalkannya
begitu saja dengan rasa marah. Ia pasti
terluka dengan sikapku yang tak mau mengerti. Aku sangat menyayanginya, aku tak
bisa berhenti untuk peduli, seharusnya aku selalu mendukungnya. Ya Tuhan,
apa yang telah aku perbuat, sesaat aku merasa aku adalah orang jahat dan egois.
Sore itu tanpa pikir
panjang,
kuseret kakiku
menuju alamat rumah yang diberikan ketua kelas XII Ipa 4. Bagaimanpun Rama harus
lulus UN seperti yang ia inginkan, bagaimanapun aku harus membantunya karena
aku tak bisa berhenti memikirkannya.
Jalanan di daerah rumah Rama terasa sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Lalu di pojok jalan, aku
menemukan alamat yang kutuju, rumah itu telihat tak terurus dan berantakan,
rumput-rumputnya dibiarkan tumbuh tinggi, daun-daun kering berseraan
dimana-mana. Muncul
banyak pertanyaan di kepalaku. aku mencoba mengetuk pintu rumah itu, sampai
ketukan ke tiga tak ada yang membukakan pintu, aku mencoba mengintip
dari jendela, tapi tak banyak yang aku bisa lihat. Aku pun mendesah dan merasa usahaku
sia-sia dan memutuskan pulang.
Sesaat aku
berbalik badan dan berjalan menuju pagar, aku melihat cowok berseragam SMA berdiri dihadapanku, tangannya melambai kerahku. Tapi ada sesuatu yang janggal. Aku berjalan menghampirinya. Seragamnya kotor oleh darah, pelipisnya sobek, bibirnya membiru, darah pun keluar dari mulutnya.
“Rama?!! kamu kenapa?!!” Rama pun terduduk, ia tak mampu menopang tubuhnya
lagi.
“Siapa yang bikin kamu kayak gini?!!!”
aku mencoba menghentingkan darah yang terus keluar dari pelipisnya dengan sapu
tanganku. Matanya kini berair dengan sorot kesedihan yang dalam “Kita kerumah
sakit sekarang ya? Terus kita lapor polisi” kataku sambil mencoba mencari
bantuan.
Rama menggeleng, ada
gurat kesedihan di wajahnya. “Ja..ngan Ra. Janji Ra jangan bawa masalah ini ke
Polisi” ucapnya lemas dan terbata,
Ini pertama kalinya aku melihatnya menangis.
“a..aku janji, tapi siapa yang bikin kamu kayak gini?”
Mataku
terasa panas, akupun tak kuasa menahan
air mataku.
“Jangan nangis, Ra.” Tangan kanannya terangkat dan
menyentuh pipiku yang basah. Akupun memeluknya sambil mengucapkan kata maaf
berkali-kali.
###
Aku berdiri
diam menatap Rama yang sedang terbaring di rumah sakit. Akhirnya ia bisa
tertidur tenang, setelah Ayahku memberinya obat penahan sakit. Ayahku yang
seroang dokter berkata jika luka Rama cukup parah namun tidak terlalu parah, ia
hanya butuh beristirahat untuk beberapa waktu.
“Sebenarnya
apa yang terjadi?” Kata ayahku penasaran, ketika memeriksa kondisi Rama malam
itu.
Aku
menggeleng “Aku tidak yakin, pah, mungkin saja dia diserang oleh gangster dijalan”
kataku dengan suara parau.
“Kau sudah
hubungi orang tuanya?”
“Belum…”
kataku menggeleng “…saat itu rumahnya kosong, aku tak tau harus menghubungi
kemana”
Ayahku
menyentuh pundakku “Dia pasti baik-baik aja, kamu gak usah khawatir”
“Makasih
pah..makasih banyak” Aku pun memeluk Ayah, rasanya ingin sekali menangis, namun
aku berusaha menahannya.
Dua minggu setelah
itu, Rama sembuh total. Rama tak ingin kejadian itu di perkarakan ke polisi,
menurutnya dia hanyalah korban anak-anak geng kampung saja. Ia pun tak ingin ayahnya
sampai tahu menahu tentang kejadian itu. Saat itu Rama banyak memberitahu
tentang kehidupannya yang seorang piatu dan hanya tinggal bersama ayahnya. Ia sebenarnya
anak yang mandiri karena ia sering sekali ditinggal ayahnya pergi keluar kota
untuk bekerja. Aku ingin mengetahui tentang dirinya lebih banyak lagi.
“Kamu benar-benar ingin jadi dokter
ya” Mata cokelatnya menatapku. Aku pun mengangguk mantap. Wajahnya
terlihat tampan dan tanpa memar.
“kalo kamu?, apa cita-cita kamu?” akhirnya aku bertanya.
Dia tak menjawab, dia hanya tersenyum
simpul “Nanti deh jawabnya lewat email, nanti aku ceritain semuanya” Cengiran muncul di
wajahnya.
Aku tertawa “Kenapa gak sekarang
aja?”
Ia tak menjawab dan malah terkekeh. Sambil menggaruk kepala
yang tak gatal. Ada semburat merah di wajahnya. Aku tak berhenti menatapnya,
aku ingin melihat wajahnya yang ceria setiap hari.
“Aku bakal kangen suasana sekolah,
lapangan basket, perpustakaan, kantin dan taman. Aku gak akan lupa” aku
tersenyum lebar.
“Lapangan Basket, taman, bangku
ini, plester dan ...kamu. aku gak bakal lupa” mendengar kata-kata Rama
membuatku termanggu. Pelupuk mataku
terasa hangat dan berkaca-kaca. Ku bungkus kata-kata Rama tadi dan kusimpan
dalam hati sampai sekarang. Itulah pertemuan kami di hari kelulusan dan
sekaligus menjadi pertemuan terakhir kami, sebelum aku pindah ke Jogja
melanjutkan studi kedokteranku.
###
Rasanya waktu mengalir begitu deras
seperti air sungai yang berlari menuju samudera. Dia selalu menepati janji mengirimi aku email, namun kali ini
ia mengirimku sepucuk surat yang menyatakan
perasaan rindu dan sayangnya kepadaku, mengatakan bahwa ia bukan seorang
gangster, ia sebenarnya ingin menjadi seorang atlit profesional. Rama yang terpaksa menimbun semua
harapannya, Rama yang menyembunyikan semua rahasianya selama ini tentang sang
Ayah yang sebenarnya selalu memukulnya setiap hari.
Aku tak tahan menahan air mataku
lagi ketika membaca surat itu. Semenjak itu Rama menghilang tanpa jejak seperti
air yang menguap. Aku tak bisa menghubunginya. Sampai akhirnya aku mendapat kabar
dari orang tuaku di Jakarta. Kali ini ia tak selamat, Ia tak bisa lepas dari
gengaman ayahnya yang pemabuk yang selalu membuatnya terluka setiap hari.
Sore itu suasana semakin sendu di
tambah semburat warna jingga yang mewarnai langitnya. Angin berhembus menyentuh rambutku. Burung
Gereja hinggap di
batu nisan itu, lalu terbang kembali melawan angin. Aku masih
terduduk kaku, berulang-ulang membaca nama yang terukir disana. Angin dingin
berhembus menyentuh kulitku seolah menembus pori, merasuk nadi dan meninggalkan
perasaan kehilangan yang menjalar kesuluruh tubuh, mendadak aku menggigil, air
mataku deras mengalir, bibirku kelu, aku
sungguh merindukan senyuman Rama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar