Tak, Tok, Tak Tok,
Sepatu
boots Sophie beradu dengan lantai
marmer yang dingin
membeku. langkahnya sesekali terhenti, kala
melihat lukisan-lukisan yang terpajang di galeri seni rupa di pusat kota. Galeri
itu nampak sepi dan hanya tiga orang pengunjung yang masih didalam, termasuk
Sophie.
Kaki
Sophie terus melangkah ke lorong selanjutnya. Setiap lukisan di galeri itu diberi jarak, kurang lebih dalam
satu lorong ada tiga sampai empat karya. Ini pertama kalinya ia mengunjungi galeri lukisan, ia tak
tau cara menikmati sebuah lukisan sehingga ia hanya menghabiskan satu sampai dua menit untuk mengamati satu lukisan. Namun mata bulatnya terpaku pada sebuah lukisan.
Lukisan
itu hanyalah
lukisan pemandangan yang sederhana namun garis-garisnya amat nyata.
Dalam lukisan itu
awan cerah bergerombol seperti domba-domba yang digiring perlahan oleh angin dan langit biru
sebagai latarnya. Hamparan rumput hijau yang
dipangkas rata bagai permadani melapisi perbukitan itu. disana
berdiri
satu-satunya pohon besar dengan daun rindang dengan
akar kuat menancap ke tanah. Di sebelah kanan pohon itu terdapat bangku tua yang
terbuat dari kayu, seseroang duduk disana mengenakan kemeja biru serupa warna langit dilukisan
itu.
Dan disaat tatapan Sophie tak kunjung beranjak, angin berhembus,
membuat rambut cokelatnya
acak-acakan. Ia pun mundur—mengalihkan
pandangan. Dan membalikkan tubuhnya ke arah ruangan lain. Tapi tak ada apa-apa disitu. Mata Sophie kembali
tertuju pada lukisan itu lagi dan angin pun berhembus kembali, kali ini daun-daun
pohon dalam lukisan itu
ikut bergerak dan bergemerisik.
Mata
Sophie
terbelalak, tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya, ia pun melangkah mundur tapi
sepatu bootsnya tak lagi menginjak
lantai marmer tetapi
sesuatu yang
empuk dan basah. Kini kakinya menginjak hamparan
rumput yang mengelilinginya. Ekspresi bingung tergambar di wajah Sophie. Mengapa aku ada disini? Bukankah seharusnya aku ada di galeri? Mengapa lukisan itu bergerak? Hatinya mulai
bertanya-tanya.
“Sophie!”
Sophie
menoleh kearah suara yang memanggilnya. Ia melihat Pria berkemeja biru itu melambai kearahnya. Disampingnya berdiri
pohon besar dan sebuah bangku kayu. Dan siapa pria itu? Apakah
aku sedang bermimpi? Apakah aku memasuki sebuah lukisan? Ini
mustahil, pikir Sophie.
Melihat Sophie yang diam saja tak bergeming, pria
itu pun
beranjak lalu berjalan menghampiri Sophie, kaki Sophie masih terpaku atas rumput mencoba mencerna apa
yang sedang terjadi.
Sophie
harus menengadah menatap pria yang sekarang ada di hadapannya. Pria itu
memasukan tangannya ke saku celana dan membukukan tubuhnya, ia balas menatap
Sophie sambil tersenyum. Kini wajah mereka berajarak beberapa senti saja. Kulit
pria itu terlihat
halus dan bersih, bola matanya berwarna kehijauan,
senyumnya mengembang dan memperlihatkan jejeran giginya rapih dan putih.
“Sophie? Kau tau aku kan?”
Mata
Sophie melebar menatap pria yang ada di hadapanya, pasti ia sedang bermimpi.
“si..apa..kau?” kata Sophie terbata dengan
suara rendah dan serak
###
Musim
dingin sudah tiba dan seluruh kota seketika terselimuti warna putih. Salju terus
berjatuhan dan seperti tanpa akhir. Sophie melilitkan syal tebal ke lehernya
agar udara dingin tak menusukinya, sementara ia bergegas menyusuri jalan kecil
dan sepi mengarah ke gedung perpustakaan.
Sophie
memasuki gedung perpustakaan tempat ia bekerja, di samping meja pembuat kopi sudah berdiri Grace, rekan
kerjanya.
“Guten Morgen”
Grace menyapa.
“Guten Morgen” sahut
Sophie, sambil menggantung mantelnya di sudut ruangan
“Oh dear, kenapa
dengan matamu? kau begadang ya ?”
Sophie menarik nafas dalam, “Aku terbangun tengah malam”
“Kenapa? kau bermimpi buruk?...” Grace memberinya secangkir kopi
“Kau bisa menceritakannya padaku jika kau mau”
“Danke..” Ia langsung menyesap kopi pemberian Grace.
Walau sebenarnya mimpi itu tidak bisa dibilang buruk, ia
hanya memimpikan lukisan yang ia lihat di pameran kemarin. Ia tidak bertemu
setan sama sekali atau pun mimpi dikejar-kejar anjing, hanya saja mimpi itu
terasa begitu nyata dan sedikit konyol.
“...hanya mimpi konyol saja, Grace” Kata Sophie melanjutkan.
Grace lalu mengangkat bahu. “Oh ya, pangeranmu sudah datang dari tadi pagi,
ia sedang dilantai dua, sebaiknya kau segera membantunya mencari buku-buku yang
di inginkanya”
“Michael?” Kata Sophie setengah berbisik matanya langsung
membeliak. Grace mengangguk
dan tersenyum kecil. Sophie terlihat panik, “Oh Grace, apakah wajahku terlihat
kacau?” sambil mencoba merapikan rambut dan sweeternya.
“Lumayan beran...” Suara Grace tiba-tiba terhenti, tatapanya
langsung tertuju
pada pria yang baru saja turun dari lantai dua membawa setumpuk buku dan mengahampiri
meja disudut perpustakaan. Pria itu berambut pirang dan bermata biru. Seketika jantung Sophie berdegup kencang.
“Dia tampan sekali pagi ini. Sayangnya, kau masih belum berani megajaknya berkencan...” Kata Grace sambil
tersenyum jahil.
Kencan! Yang benar saja! Mendengarnya saja membuat tubuhnya merinding. Bukannya
tak ingin, namun itu akan sulit dilakukan oleh Sophie. Seperti hari-hari
sebelumnya, Sophie hanya bisa menatap diam –diam kearah pria itu dari balik mejanya. Ia selalu menunggu.
Menunggu pria itu menghampiri meja kerjanya untuk meminta bantuan untuk mencari
buku atau hanya sekedar mengurus administrasi, hanya itulah satu-satunya cara
Sophie berinteraksi dengan pria yang bernama Michael itu. Sophie menarik nafas
dalam, menemukan kenyataan bahwa ia tak punya keberanian lebih lagi.
Namun setalah Sophie sekian menit berkutat dengan
keraguanya, akhirnya ia nekad melangkah menghampiri Michael, toh apa salahnya
menyapanya terlebih dahulu. Sedikit
gugup, Sophie melangkahkan kakinya mendekat.
“Guten Morgen,
ada yang bisa saya bantu? Apakah bukunya sudah lengkap?” Sophie berusaha
menegur dan mengendalikan rasa gugupnya yang
menyerang.
Michael mengangkat kepalanya “Guten Morgen Sophie” balasnya
sambil tersenyum manis. Dan seketika Sophie pun tak percaya, pria di hadapanya itu mengingat namanya.
“...sepertinya sudah cukup..” Kata Michael melanjutkan
sambil memeriksa tumpukan buku-buku diatas mejanya.
“...oh ya,
sepertinya aku butuh bantuan yang lain..” Michael tersenyum kembali. Sophie pun menanti harap-harap cemas apa yang
dimintanya.
“Ah itu dia..” Michael menunjuk ke arah tangga,
disana seorang pria
baru saja turun dari lantai dua. Sophie menoleh kearah yang di tunjukan Michael, namun seketika Sophie
pun tertegun bertemu pandang dengan pria bertubuh jangkung dengan rambut pirang agak kecoklatan
itu.
“Itu temanku, namanya Erich, sepertinya ia ingin menjadi
anggota perpusatakaan dan meminjam beberapa buku” Kata Michael memperkenalkan
temannya.
“Hallo, Aku ingin
meminjam ini...” Sapa pria itu sambil mengahampirinya
dan menyodorkan
satu novel kearah Sophie. “...dan aku ingin mendaftar menjadi Anggota. können du mir bitte
helfen?”
“Ja.. sicher” Sophie mengangguk dengan canggung. Lalu beranjak kembali kebalik mejanya dengan wajah bingung dan penuh tanda tanya. Pria itu mengikuti Sophie ke arah meja.
“Bitte
schön...” Sophie menyodorkan selembar kertas formulir pendaftaran.
“Danke schön..” Kata pria itu sambil tersenyum kecil.
Pria dengan Bola mata berwarna kehijauan itu berjalan menuju sudut
ruangan menghampiri Michael yang sedang asik berkutat dengan buku-bukunya.
“Oh mein gott” Grace menyenggol Sophie. Sedari tadi ia memperhatikan Sophie dari balik mejanya. “Lihat temannya Michael tampan juga ya, jangan-jangan kau tertarik dengannya sampai terus menatapnya?” kata Grace sambil tertawa kecil.
“Nein..bukan
seperti itu” Sophie mengeleng-geleng “aku seperti pernah melihat orang itu”
“Sungguh? Dimana?” tanya Grace penasaran.
“Ya dia adalah pria yang muncul dalam mimpiku semalam” Kata Sophie dalam hati, “Aku tak yakin Grace..”
Dahi Grace mengerut “kau ini aneh sekali...”
“Ya aku memang aneh. Mimpiku lebih aneh lagi” Gumam
Sophie dalam hati.
###
Dengan menaiki tangga kayu, Sophie merapikan buku-buku yang ada di bagian atas rak.
Perpustakaan sedang sepi saat itu, biasanya pada musim dingin pengunjung
menurun drastis. Hanya ada beberapa orang yang membaca buku di meja yang
tersedia. Sophie mendesah pelan dan melirik jam tangan. Sebentar lagi waktunya
jam pulang, perutnya sudah mulai keroncongan.
Tiba tiba seseorang memanggil namanya “Sophie”
Sophie sempat memekik kaget
dan hampir terjatuh
dari tangga kayu itu, namun ia bisa menyeimbangkan kembali tubuhnya.
“Sei vorsichtig!”
Kata pria itu.
“Aduh..kau mengagetkan ku!” protes Sophie,
sambil menuruni tangga
kayu itu. Sophie memejamkan mata, menarik napas panjang dan menghembuskannya
dengan pelan, untuk menenangkan diri hampir saja ia terjatuh dan bisa membuat
kakinya patah seketika.
“Es tut mir leid, aku tidak bermaksud mengagetkanmu. Apakah kau baik-baik saja?” kata pria itu dengan nada suara cemas.
Sophie
mengangguk walau tergambar rasa kesal di wajahnya.
“Aku mau mengembalikan novel ini, aku benar-benar minta
maaf” pria itu menyodorkan dua buah novel, salah satu novel itu
berjudul “Summer is Here” karya
penulis terkenal dan salah satu novel favorite Sophie, ia sudah membacanya lebih dari lima kali.
“Lain kali jangan membuatku kaget
lagi!” Sophie
memandang Erich yang bermata
hijau itu sekilas. Ia sudah sudah tak memikirkan mimpi itu lagi dan menganggap hanya sebuah
kebetulan saja.
Tiba-tiba
Sophie menyadari sesuatu, ekspresinya berubah seketika, rasa
kesal karena Erich pun menghilang. Jika ada Erich maka
ada Michael pikirnya. Secara spontan ia melangkah lebar meninggalkan
lorong untuk melihat Michael di tempat ‘favoritnya’ di sudut perpustakaan. Beberapa detik
kemudian, sebelum Sophie
sampai di ujung lorong, Erich memanggilnya kembali.
“Sophie,
tunggu!”
melangkah menyusul Sophie. Sophie pun berbalik “Aku tidak bersama Michael
hari ini” Kata Erich.
Alis
Sophie terangkat. Namun seketika mata Sophie melebar. Ia pasti salah dengar,
pria ini berkata apa tadi? Michael? Bagaimana dia bisa tahu? Jantungnya mulai
berdebar-debar.
“Michael?”
Sophie sebisa mungkin bereskprsi sewajarnya.
“Ya, temanku. Kau sedang mencarinya kan?” Tebak Erich.
Sophie
menggeleng cepat “Tidak! aku ti…”
“Kau tidak bisa
membohongiku, Aku tahu
semuanya” potong Erich. Wajah sophie merah
seketika mendengarnya.
“Maksudmu? Tahu tentang apa? Memangnya kau peramal ya!?”
Erich menggeleng sambil tertawa kecil “Matamu yang
mengatakan segalanya. Kau memang menyukainya”
Sophie mendongak kaget. Apakah Erich memang seorang
peramal? Sepertinya begitu walau terdengar konyol.
“Bagaimana kalau kau ikut makan malam denganku dan Michael,
ini sudah jam pulang bukan?” Erich melirik jam tanganya.
Alisnya Sophie berkerut bingung. Kepala Sophie
tiba-tiba terasa berdenyut-denyut. Apakah dia sudah benar-benar ketahuan oleh Erich?
“Ayolah, hanya makan malam saja, aku berjanji tidak akan
mengatakan apa-apa padanya, hanya memberimu kesempatan mengenalnya dan
mengobrol lebih banyak lagi ...” sela Erich cepat “...Mau sampai kapan kau hanya menatapnya diam-diam? ini
kesempatanmu dan aku akan membantumu, percayalah”
Sophie mengigit bibirnya, mempertimbangkan usul Erich
sejenak. Setelah sekian menit berkutat dengan keraguanya, ia pun mengangguk ragu “Baiklah kalau begitu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar