“Bagas! Pelan-pelan!” Protes Mister Jo.
Anak laki-laki itu bersemangat sekali mendorong kursi roda Mister Jo,
saking semangatnya kursi rodanya hampir terjungkal.Karena di protes, Bagas
langsung berhenti mendorongnya.
Pria yang akrab disapa Mister Jo itu mendelik masam, sambil mendumel
dalam hati, memangnya gerobak sayur di
dorong sekasar itu. Melihat ekspresi Mister Jo yang galak anak itu nyengir
lagi, lalu melanjutkan mendorong kursi rodanya menuju taman dengan lebih
manusiawi.
Jumat sore itu, taman
terlihat sepi dan hanya terdengar gemerisikpohon-pohon rimbunditerpa angin.Daun basah yang baru
terkena hujan pun menguarkan aroma yang membungkus taman. Udara segar menerpa wajah pria yang duduk di kursi roda itu.
Sudah lama ia tak keluar rumah, sesaat rasa jenuhnya pun menghilang.
“Bagas! sekarang Mister tugaskan kamu menghapal semua benda yang ada di
taman ini dalam bahasa inggris!” Mister Jo memberi perintah dengan galak, ia
pun melirik jam nya “Jam setengah empat, Mister tes disini!”
“Siap!! Mister!!Laksanakan!” sambil memberi hormat.
Mister Jo hanya menyunggingkan bibir menahan senyum geli karena tingkah
anak itu. Bagas segera mengeluarkan pensil dan
buku sakunya dan mulai mencatat semua benda yang ada di taman, benda
yang tidak ia tahu bahasa inggrisnya ia cari di kamus elektroniknya. Mister
Jo sangat menyukai Bagas walau terkadang bisa membuatnya kewalahan kalau anak
itu sudah hyperaktif. Semangat anak itu sangat luar biasa, umur Bagas baru sepuluh tahun tapi
ia mampu menularkan keceriaan dan semangatnya kepada teman-temannya dikelas
bahkan pada Mister Jo sendiri.
Bayangkan saja, hari ini sebenarnya hari kejepit nasional,
Mister Jo memang tidak meliburkan kelas private
bahasa inggrisnya. Jo mengira semua muridnya akan malas masuk kelas. Nampaknyaia
salah, Bagas datang tepat waktu sambil menyerahkan PR-nya. Mau tak mau Mister
Jo harus mengajar sore itu, tapi karena suasana kelas membosankan ia mengajak
anak itu belajar di taman.
“Sudah Beres Mister” ucap Bagas. Belum sampai dua puluh menit anak itu
sudah menyelesaikan tugas yang diberikan Mister Jo.
“Cepet sekali, kamu yakin sudah siap di tes?” Tanya Mister Jo.
“Sudah kok, semuanya ada sepuluh” Bagas nyengir memamerkan gigi kelincinya
yang belum sempurna sambil menujukan angka sepuluh dengan jarinya-jarinya. Mister
Jo jadi menyesal memberi tugas yang terlalu gampang dan mudah diselesaikan.
“Oke, kita mulai. Go!” Kata Mister Jo.
Bagas dengan lancar menyebutkan semua benda yang ada di taman itu dalam
Bahasa Inggris mulai dari ayunan, perosotan, jungkat–jungkit dan seterusnya. Sesekali Mister Jo mengoreksi ejaannya yang salah, Bagas terkadang
mengerucutkan mulutnya agar pengucapan nya benar atau sekedar menekan lidahnya
ke pangkal mulutnya mengkuti apa yang Mister Jo peragakan.
“….Swing, Seesaw,
Slider and Bench. Yee finish!”Bagas
tertawa senang.
“Ok, good job” ujar Mr. Jo sambil tersenyum.
“Ngapain lagi Mister?” kata Bagas, ia mulai
ketagihan.
Mister Jo terdiam sejenak “Well, Sit down please!” Mister Jo menyuruh Bagas duduk di bangku taman di samping
kursi rodanya “Kita istirahat saja, sambil menikmati angin, bagaimana?” lanjut Mister Jo.
“Okey Mister” Bagas duduk dibangku sambil menghadap kearah taman
“Kau tidak liburan? Banyak teman-teman mu yang tidak datang hari ini”
“Nggak ah Mister, Bagas milih dirumah saja sama bibi dan main kesini”
“Memang orang tua mu kemana?Kau tidak ikut dengan mereka?”
Bagas menggeleng “Ayah pergi ke Bali. Ibu pergi kerumah nenek. Bagas di
ajak ibu kerumah Nenek, tapi Bagas males ah, Nenek galak soalnya, lebih
baik Bagas masuk les trus minta kue ama
Oma” celotehnya. Oma adalah panggilan untuk ibu Mister
Jo.Semua murid memanggilnya Oma, wanita tua itu
cukup ramah dan pandai memasak. Murid-murid senang sekali dimanjakan oleh kue-kue
buatan Oma.
“Ayahmu pergi ke Bali untuk liburan?”TanyaMister
Jo agak penasaran.
Bagas menggeleng lagi “Bukan, katanya sih kerja.Bagas ingin ikut
sebenernya, pengen liat pantai. Mister
Jo pernah ke Bali?” Anak itu bertanya dengan
antusias.
Mister Jo mengangguk, tentu sajaia pernah mengunjungi pulau
indah yang dijuluki pulau dewata itu, bukan hanya mengunjungi tapi Mister Jo hampir menghabiskan satu dekade hidupnya di Bali.
Di pulau indah yang penuh dengan kenangan.
****
Badannya menjulang tinggi, hidungnya mancung, kulitnya sawo matang,
alisnya melengkung rapih dan tebalnya sempurna, se-per-empat lengan kemeja
putihnya tergulung di tangan yang sedang menari bersama shaker-nya, menciptakan
ritme kocokan sempurna sehingga melahirkan rasa yang pas untuk minuman yang
akan ia sajikan.
Ya, Pria itu adalah Mister Jo, ketika ia berumur dua puluh delapan
tahun. Jo bekerja sebagai Bartender di salah satu Bar di Bali. Ia sangat
menyukai pekerjaan pertamanya. Dia adalah Bartender yang sangat populer di
kalangan para pengunjung bar tersebut. Selain mahir dalam mencampur minuman seperti Cocktail dan liquor, Ia pun mahir melakukan Flaring dan Jugling bahkan meluncur suavely dari
satu ujung bar. Ia juga fasih dalam berbahasa inggris serta mudah bergaul, hal ini yang
membuat dirinya sangat disukai banyak turis asing maupun pengujung lokal.
Malam itu Bar tempat Jo bekerja baru saja buka,
dan baru beberapa orang pengunjung saja yang datang,
termasuk seorang wanita duduk depan bar sambil menatap Jo dengan penuh kagum, sepertinya ia terpesona dengan bartender tampan yang
ada di hadapanya itu. Jo tersenyum menatap wanita itu memamerkan gigi
putihnya yang rapih.
“Mau minum apa? Cocktail?Wine?”
“Orange Juice, Kau kan tahu aku nggak suka alkohol” Kata wanita itu sambil
cemberut dengan ekspresi menggemaskan.
“Baiklah Nona yang cantik” Kata Jo sambil terkekeh.
Jo senang menggoda wanita yang telah menjadi kekasihnya itu. Nama wanita itu adalah Laras. Dia adalah wanita cantik, smart dan pandai berbahasa inggris. Bar ini lah yang mempertemukan
mereka. Laras juga seorang perantau seperti Jo, dia
bekerja sebagai tour guide, itu
sebabnya wanita berdarah jawa ini sering sekali mengunjungi bar tersebut
bersama turis-turis asing yang dipandunya.
Jo yang kharismatik dan Laras yang cantik, dua insan manusia yang
sedang dirundung cinta yang romantik ini seolah tak terpisahkan. Mereka sudah hidup bersama selama empat tahun dalam satu atap tanpa ikatan pernikahan. Empat tahun
bukanlah waktu yang singkat tentunya, keinginan terbesar Laras
dan Jo adalah mereka segera menikah.
“Will you marry me?” Jo mencodongkan tubuhnya
ke arah Laras lalu berbisik, sambil memberi
segelas jus Orange.
Mendadak Laras tertawa kecil.
“Kenapa kamu ketawa?” Kata Jo sambil menarik tubuhnya kembali.
Laras tak menjawab, karena ia merasa tahu kalo ini
bukan pertama kalinya laki-laki dihadapanya itu mengatakan hal itu, ini adalah kelima kalinya
dan jawabanya selalu sama ‘I will’.
“Kapan ya kita benar-benar akan menikah?” Kata Laras berharap.
“Berdoa saja semoga lebih cepat, kita tidak tahu
apa yang akan terjadi besok atau lusa, semoga saja Tuhan memberi kita rezeki
lebih” Ujar Jo bijak sambil menggenggam tangan kekasihnya itu.
Tentu saja Laras selalu berdoa, berdoa setiap
malam, yakin Tuhan akan mendengarnya, semua ini adalah keinginan dengan niat
baik yang tulus. Dan yakin niat baik akan selalu menemukan jalannya.
“Ras, Aku akan ikut seleksi jadi bartender di kapal pesiar” Ujar Jo secara tiba-tiba.
Laras berhenti menyesap jus Orangenya, lalu ia menatap serius kekasihnya yang
sedang mengelap gelas-gelas itu. “Sayang, Kamu serius?” Kata Laras.
“Tentu saja, tabungan ku tak kunjung menggendut jika aku bekerja terus
disini...” Ucap Jo sambil tersenyum kecil.
Tak ada suara dari mulut Laras, terbersit rasa cemas di benaknya, bekerja di kapal pesiar berarti ia harus siap tidak bertemu Jo selama
berbulan-bulan. Namun apa boleh buat, Jo
pergi demi terwujudnya cita-cita mereka, selalu ada yang di korbankan untuk
mendapat ikan yang lebih besar.
“Kapan seleksinya?” Tanya Laras dengan nada tenang, berusaha menyembunyikan
kecemasannya.
“Besok, aku sudah minta izin sama pak Pram”
Laras pun mengahampiri Jo yang masih terus membersihkan gelas-gelas. Laras meraih tangan kekasihnya, lalu menepelkan punggung tangan Jo yang hangat ke pipinya.
“Aku yakin, kamu bisa” Kata laras dengan tatapan dalam.
Jo pun tersenyum bahagia, lalu mengecup kening kekasihnya itu, Jo selalu merasa paling
beruntung karena hanya kepada dirinyaLaras memberikan cinta dengan sepenuh jiwa
tanpa sisa.
***
Senyum Jo terus mengembang kala itu, seperti baru saja memenangi lotre
atau undian berhadiah mendadak. Setangkai bunga mawar tersembunyi di balik
punggungnya.
“Kamu ini aneh sekali hari ini” Kata Laras, dahinya berkerut.
“Aku Lolos seleksi” Kata Jo sambil memberi setangkai bunga mawar itu.
“Serius??”
Jo mengangguk, lalu tersenyum dan menghambur
memeluk kekasihnya itu. “Aku lolos seleksi dan besok mulai training
selama seminggu” Ucap Jo bersemangat
Laras pun ikut senang, ia pun memeluk erat Jo, seolah tak ingin Jo pergi dari
sisinya. Rasa gelisah mencuat di hati Laras, gelisah yang di khawatirkan
menjadi rasa takut kehilangan dan rasa takut di tinggalkan.
“Selamat sayang” Kata laras, matanya kini mulai
berair.
“Jangan nangis donk, aku cuma pergi selama
delapan bulan kok, setelah itu kita adakan pesta pernikahan yang meriah,
itu cita-cita kita kan?” Ujar Jo
optimis, sambil mengusap air yang
gergulir di pipi Laras.
Laras mengangguk. ia tak tau harus berkata apa, yang jelas Laras sudah
paham artinya, ia harus sabar menunggu di temani senja yang tenggelam
di pulau dewata ini.
***
Sore itu, Jo termenung di depan jendela sambil
memandang riak air laut di kejauhan. Tatapannya yang kosong mengarah ke perahu-perahu nelayan yang berayun. Angin sore menerpa wajah Jo yang kurus dan kusut.
Jo yang seharusnya sedang berlayar mengarungi samudra yang tak berbatas, kini terduduk
tak berdaya. Nampaknya Tuhan berkehendak lain, ia jatuh sakit
kala mengikuti training. Dan itu membuat semua kesempatan berlayar selama
delapan bulan, demi berlembar-lembar uang Dollar Amerika sirna. Jo putus asa.
Jo tidak bisa kembali bekerja sebagai bartender di bar lamanya itu, karena mereka sudah menemukan pengganti dirinya. Untuk sementara kini ia bekerja sebagai tour guide seperti Laras. Tiap hari Jo selalu pulang larut malam dengan keadaan mabuk. Tenggorokannya
tak pernah kering dari minuman keras. Laras tak pernah melihat lagi tatapan dan senyuman hangat Jo yang dulu, cahaya
dari matanya seperti tergerus oleh harapan yang tak terwujud.
“Sayang, aku tidak enak badan, nanti malam bisakan
kau antar aku ke Dokter” Ucap Laras sambil menghampiri Jo yang sedang
melamun.
“Aku gak bisa, bule Australia itu minta aku temani ke Club, mereka biasanya memberiku tips
banyak. Kau tahu kan kita sedang
butuh banyak uang, jadi kau pergi sendiri saja” Ucap Jo sambil menatap Laras dengan
tatapan seolah ia telah kehilangan
nyawa seper-empat bagian.
“Jo, tolong berhentilah mabuk-mabukan dan pulang larut malam” Protes
Laras, ia tak tahan dengan sikap Jo
akhir-akhir ini.
“Sudah ku bilang! Kita ini butuh uang untuk menikah, ini demi
keinginanmu kan? apa hubungannya dengan mabuk-mabukan” Timpal Jo.
“Jo! Aku tak butuh pesta pernikahan, aku hanya
ingin menikah” Seru Laras.
“Aku hanya ingin
membuktikan kepada orang tua mu, bahwa aku memang layak!” Kata Jo dingin.
“Cukup Jo! Jangan jadikan orang tuaku alasan,
bahkan mereka tak menutut apa-apa!!”
“Lalu mau mu apa?! Hah?! Aku gak siap ketemu orang
tuamu! Sebelum aku merasa layak” bentak Jo dengan
ekspresi marah.
Laras tereperangah. Bahunya bergerak. Menjauh.
“Kamu gak ngerti Jo” Kata
Laras lirih. Matanya mulai bersaput air.
Nafas Jo tersengal, ia benar-benar kesal. Laras
tak mengerti perasaannya. Jo pun beranjak membanting pintu dan meninggalkan
Laras seorang diri.
Laras membiarkan tubuhnya terduduk dilantai, seluruh
tubuhnya bergetar. Ada rasa pedih yang menyelip keluar, mata
Laras mulai berair deras seperti air sungai meluap, Laras menangis
tersengal-sengal mencoba membendung tangisnya padahal tak ada seseorang pun
disana yang melihatnya.
***
Malam itu Jo melangkah dengan lunglai keluar dari sebuah Club
di kawasan Legian Kuta, jalanan masih saja ramai walau hampir larut malam.
Masih banyak mobil-mobil yang terparkir di depan Club itu. Jo berjalan menyesuri trotoar sambil menatap kearah langit, semeliwir angin segar membelai ubun-ubun
kepalanya yang pening karena mabuk. Uang tips nya habis sehingga ia tak mampu naik taksi, Jo menarik nafas dalam sambil menyeret kakinya yang lemas.
Dalam hitungan seperkian detik terdengar dentuman keras yang memekakan dan membuat telinga Jo
tuli mendadak. Lalu sesuatu menghantam
Jo dengan amat keras, membuat tubuhnya terjatuh dan terseret beberapa meter. Seluruh kulitnya terasa perih, serpihan kaca pun mencap di tubuhnya. Debu-debu hangus yang terhirup olehnya
membuatnya sulit bernafas. Jo tak dapat merasakan jari-jari tangan dan kakinya lagi, sesaat ia tak sadarkan diri
tergelatak tak berdaya.
***
Langit malam itu kini berubah menjadi hitam pekat karena asap dan nyala
api yang tersisa. yang terdengar hanyalah riuh teriakan-teriakan histeris, lolongan ambulan membuat semua terlihat benar-benar mencekam. Tubuh-tubuh itu bergelimpangan tak berdaya, sebagian korban tak di
kenali karena hangus.
Bom Bali pada 12 oktober itu memang mimpi buruk bagi semua orang. Mimpi buruk bagi Jo dan masa depannya. Ia harus melewatkan harinya-harinya tertanam di atas kursi roda
karena akibat kejadian itu kedua kakinya remuk tak terselamatkan.
Setiap hari Jo harus merelakan rasa sesak yang selalu menghimpit dadanya itu semakin
mendesak, terkadang Jo lupa bagaimana harus bernafas. Jo semakin terpuruk, dunia seolah telah
meninggalkannya.
Laras tak pernah lagi menampakan wujudnya di depan
Jo, wanita itu menghilang bagaikan asap yang tersapu angin kencang. Jo bahkan sempat merasa lebih
baik mati saja karena meski bernapas, Jo seperti orang mati yang hanya tinggal
kulitnya saja bahkan jantungnya pun menjadi kering, Jo hidup seperti orang
bodoh yang tidak bisa membedakan air mata dan tawa.
“Misterr?” kata Bagas.
Jo tersadar dari lamunannya dan terlalu berani membentangkan semua kenangan pahitnya itu.
“I’m hungry” Kata Bagas sambil cemberut.
Jo lalu tersenyum getir, sepertinya ia
terlalu lama melamun sehingga membuat murid kesayangan nya itu merasa lapar.
“Let’s go home” kata Jo. Bagas
pun langsung beringsut dari bangku taman, ia tak sabar lagi merasakan kue-kue
hangat buatan Oma yang masih baru diangkat dari pemanggang.
“Bagas!!” sesosok wanita memanggilnya dari kejauhan.
Bagas kaget melihat ibunya yang menyusul ke taman. Anak itu pun
berlari mengahampiri wanita itu.
Mata Mister Jo terbelik tak percaya mendapatkan seseorang yang masih
berani kembali muncul di kehidupannya begitu saja. Apakah kenangan yang ia bentangkan barusan
seperti asap dalam lampu Alladin, bila di gosok maka sosok kenangan itu yang muncul.
Ini betul-betul suatu kebetulan yang gila.
“Apa kabar Mister Jo?” Wanita itu tersenyum.
Jo menyunggingkan senyum dengan sekuat tenaga, sambil cepat-cepat
mengatur nafas, ia tahu akibatnya bila ia lupa bernafas. Jo berusaha
mengelurkan suara walau sulit.
“Kau sendiri apa kabar?” Nada suaranya sedikit dipaksakan
“Baik” kata Laras sambil tersenyum lagi.
Laras membantu Jo untuk
mendorong kursi rodanya. Laras tak bersuara lagi sepanjang jalan, mereka
sama-sama terdiam. Sulit memang berbicara dengan orang yang pernah pergi begitu
lama dari kehidupan kita dan kembali lagi tanpa aba-aba dan pertanda,
mereka seolah dengan gampangnya menjebol pertahanan yang telah bertahun-tahun
di bangun. Bagaimanapun Jo masih merasa dikhianati.
Bagas pun langsung menghambur menuju dapur Oma, kini hanya mereka
berdua yang tersisa di halaman rumah.
“Maafkan aku Jo, Aku pergi tanpa pamit.” terdengar suara Laras yang parau.
Mulut Jo rapat oleh getir, tubuhnya kini bergetar dan hati
Jo terus berseru. Cukup!Tolong diam dan
pergi!
“Aku hanya mencoba yang
terbaik demi Bagas” lanjut Laras.
Jo masih terdiam,Ia tak mengerti perkataan Laras yang menyebut Bagas
“Kau boleh membenciku tapi
jangan membenci Bagas” Kata Laras. Matanya kini berkaca-kaca “Bagaimanapun,
dia anak kita Jo”
Jotertegun dan mematung.Langit mulai keruh oleh awan mendung.Hujan pun
turun dan rasanya tak mau berhenti.Tiap rintik menusuk bagai jarum.Laras pun pergi
meninggalkan Jo, ia merasa tugasnya sudah selesai untuk memberitahu Jo fakta
yang sebenarnya. Laras hanya tak ingin Jo salah paham seumur hidupnya,
bagaimana pun meninggalkan Jo adalah pilihan. Jo tak pernah mengerti dan telah
salah mengira keinginan Laras.
Kelenjar air mata yang sudah kering kini memompa deras air mata yang
membuat seolah pipinya seperti meleleh. Jo menangis terseguk, ia tersadar selama ini ia telah terpenjara oleh keinginannya menjadi ‘Layak’ padahal
Laras tak butuh ‘Layak’ versi Jo.Untuk memahami seseorang adalah hal yang
tak bisa kau lakukan walau kau hidup bersamanya bahkan mencintainya.
-The End-
Cerpen untuk Mister Jo, yang mencoba menemukan kebahagiaanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar