Minggu, 18 Januari 2015

Sepotong Kenangan Jo






“Bagas! Pelan-pelan!” Protes Mister Jo.
Anak laki-laki itu bersemangat sekali mendorong kursi roda Mister Jo, saking semangatnya kursi rodanya hampir terjungkal.Karena di protes, Bagas langsung berhenti mendorongnya.
“Sorry Mister” ucap Bagas sambil nyengir.

Pria yang akrab disapa Mister Jo itu mendelik masam, sambil mendumel dalam hati, memangnya gerobak sayur di dorong sekasar itu. Melihat ekspresi Mister Jo yang galak anak itu nyengir lagi, lalu melanjutkan mendorong kursi rodanya menuju taman dengan lebih manusiawi.
Jumat sore itu, taman terlihat sepi dan hanya terdengar gemerisikpohon-pohon rimbunditerpa angin.Daun basah yang baru terkena hujan pun menguarkan aroma yang membungkus taman. Udara segar menerpa wajah pria yang duduk di kursi roda itu. Sudah lama ia tak keluar rumah, sesaat rasa jenuhnya pun menghilang.
“Bagas! sekarang Mister tugaskan kamu menghapal semua benda yang ada di taman ini dalam bahasa inggris!” Mister Jo memberi perintah dengan galak, ia pun melirik jam nya “Jam setengah empat, Mister tes disini!”
“Siap!! Mister!!Laksanakan!” sambil memberi hormat.
Mister Jo hanya menyunggingkan bibir menahan senyum geli karena tingkah anak itu.  Bagas segera mengeluarkan pensil dan buku sakunya dan mulai mencatat semua benda yang ada di taman, benda yang tidak ia tahu bahasa inggrisnya ia cari di kamus elektroniknya. Mister Jo sangat menyukai Bagas walau terkadang bisa membuatnya kewalahan kalau anak itu sudah hyperaktif. Semangat anak itu sangat luar biasa, umur Bagas baru sepuluh tahun tapi ia mampu menularkan keceriaan dan semangatnya kepada teman-temannya dikelas bahkan pada Mister Jo sendiri.
Bayangkan saja, hari ini sebenarnya hari kejepit nasional, Mister Jo memang tidak meliburkan kelas private bahasa inggrisnya. Jo mengira semua muridnya akan malas masuk kelas. Nampaknyaia salah, Bagas datang tepat waktu sambil menyerahkan PR-nya. Mau tak mau Mister Jo harus mengajar sore itu, tapi karena suasana kelas membosankan ia mengajak anak itu belajar di taman.
“Sudah Beres Mister” ucap Bagas. Belum sampai dua puluh menit anak itu sudah menyelesaikan tugas yang diberikan Mister Jo.
“Cepet sekali, kamu yakin sudah siap di tes?” Tanya Mister Jo.
“Sudah kok, semuanya ada sepuluh” Bagas nyengir memamerkan gigi kelincinya yang belum sempurna sambil menujukan angka sepuluh dengan jarinya-jarinya. Mister Jo jadi menyesal memberi tugas yang terlalu gampang dan mudah diselesaikan.
“Oke, kita mulai. Go!” Kata Mister Jo.
Bagas dengan lancar menyebutkan semua benda yang ada di taman itu dalam Bahasa Inggris mulai dari ayunan, perosotan, jungkat–jungkit dan seterusnya. Sesekali Mister Jo mengoreksi ejaannya yang salah, Bagas terkadang mengerucutkan mulutnya agar pengucapan nya benar atau sekedar menekan lidahnya ke pangkal mulutnya mengkuti apa yang Mister Jo peragakan.
“….Swing, Seesaw, Slider and Bench. Yee finish!”Bagas tertawa senang.
“Ok, good job” ujar Mr. Jo sambil tersenyum.
“Ngapain lagi Mister?” kata Bagas, ia mulai ketagihan.
Mister Jo terdiam sejenak “Well, Sit down please!” Mister Jo menyuruh Bagas duduk di bangku taman di samping kursi rodanya “Kita istirahat saja, sambil menikmati angin, bagaimana?” lanjut Mister Jo.
“Okey Mister” Bagas duduk dibangku sambil menghadap kearah taman
“Kau tidak liburan? Banyak teman-teman mu yang tidak datang hari ini”
“Nggak ah Mister, Bagas milih dirumah saja sama bibi dan main kesini”
“Memang orang tua mu kemana?Kau tidak ikut dengan mereka?”
Bagas menggeleng “Ayah pergi ke Bali. Ibu pergi kerumah nenek. Bagas di ajak ibu kerumah Nenek, tapi Bagas males ah, Nenek galak soalnya, lebih baik  Bagas masuk les trus minta kue ama Oma” celotehnya. Oma adalah panggilan untuk ibu Mister Jo.Semua murid memanggilnya Oma, wanita tua itu cukup ramah dan pandai memasak. Murid-murid senang sekali dimanjakan oleh kue-kue buatan Oma.
“Ayahmu pergi ke Bali untuk liburan?”TanyaMister Jo agak penasaran.
Bagas menggeleng lagi “Bukan, katanya sih kerja.Bagas ingin ikut sebenernya, pengen liat pantai. Mister Jo pernah ke Bali?” Anak itu bertanya dengan antusias.
Mister Jo mengangguk, tentu sajaia pernah mengunjungi pulau indah yang dijuluki pulau dewata itu, bukan hanya mengunjungi tapi Mister Jo hampir menghabiskan satu dekade hidupnya di Bali. Di pulau indah yang penuh dengan kenangan.
****
Badannya menjulang tinggi, hidungnya mancung, kulitnya sawo matang, alisnya melengkung rapih dan tebalnya sempurna, se-per-empat lengan kemeja putihnya tergulung di tangan yang sedang menari bersama shaker-nya, menciptakan ritme kocokan sempurna sehingga melahirkan rasa yang pas untuk minuman yang akan ia sajikan.
Ya, Pria itu adalah Mister Jo, ketika ia berumur dua puluh delapan tahun. Jo bekerja sebagai Bartender di salah satu Bar di Bali. Ia sangat menyukai pekerjaan pertamanya. Dia adalah Bartender yang sangat populer di kalangan para pengunjung bar tersebut. Selain mahir dalam  mencampur minuman seperti Cocktail dan liquor, Ia pun mahir melakukan Flaring dan Jugling bahkan meluncur suavely dari satu ujung bar. Ia juga fasih dalam berbahasa inggris serta mudah bergaul, hal ini yang membuat dirinya sangat disukai banyak turis asing maupun pengujung lokal.
Malam itu Bar tempat Jo bekerja baru saja buka, dan baru beberapa orang pengunjung saja yang datang, termasuk seorang wanita duduk depan bar sambil menatap Jo dengan penuh kagum, sepertinya ia terpesona  dengan bartender tampan yang ada di hadapanya itu. Jo tersenyum menatap wanita itu memamerkan gigi putihnya yang rapih.
“Mau minum apa? Cocktail?Wine?”
“Orange Juice, Kau kan tahu aku nggak suka alkoholKata wanita itu sambil cemberut dengan ekspresi menggemaskan.
Baiklah Nona yang cantik Kata Jo sambil terkekeh.
Jo senang menggoda wanita yang telah menjadi kekasihnya itu. Nama wanita itu adalah Laras. Dia adalah wanita cantik, smart dan pandai berbahasa inggris. Bar ini lah yang mempertemukan mereka. Laras juga seorang perantau seperti Jo, dia bekerja sebagai tour guide, itu sebabnya wanita berdarah jawa ini sering sekali mengunjungi bar tersebut bersama turis-turis asing yang dipandunya.
Jo yang kharismatik dan Laras yang cantik, dua insan manusia yang sedang dirundung cinta yang romantik ini seolah tak terpisahkan. Mereka sudah hidup bersama selama empat tahun dalam satu atap tanpa ikatan pernikahan. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat tentunya, keinginan terbesar Laras dan Jo adalah mereka segera menikah.
Will you marry me?” Jo mencodongkan tubuhnya ke arah Laras lalu berbisik, sambil memberi segelas jus Orange.
Mendadak Laras tertawa kecil.
“Kenapa kamu ketawa?” Kata Jo sambil menarik tubuhnya kembali.
Laras tak menjawab, karena ia merasa tahu kalo ini bukan pertama kalinya laki-laki dihadapanya itu mengatakan hal itu, ini adalah kelima kalinya dan jawabanya selalu sama ‘I will.
“Kapan ya kita benar-benar akan menikah?” Kata Laras berharap.
“Berdoa saja semoga lebih cepat, kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok atau lusa, semoga saja Tuhan memberi kita rezeki lebih” Ujar Jo bijak sambil menggenggam tangan kekasihnya itu.
Tentu saja Laras selalu berdoa, berdoa setiap malam, yakin Tuhan akan mendengarnya, semua ini adalah keinginan dengan niat baik yang tulus. Dan yakin niat baik akan selalu menemukan jalannya.
“Ras, Aku akan ikut seleksi jadi bartender di kapal pesiar” Ujar Jo secara tiba-tiba.
Laras berhenti menyesap jus Orangenya, lalu ia menatap serius kekasihnya yang sedang mengelap gelas-gelas itu. “Sayang, Kamu serius?” Kata Laras.
“Tentu saja, tabungan ku tak kunjung menggendut jika aku bekerja terus disini...” Ucap Jo sambil tersenyum kecil.
Tak ada suara dari mulut Laras, terbersit rasa cemas di benaknya, bekerja di kapal pesiar berarti ia harus siap tidak bertemu Jo selama berbulan-bulan. Namun apa boleh buat, Jo pergi demi terwujudnya cita-cita mereka, selalu ada yang di korbankan untuk mendapat ikan yang lebih besar.
“Kapan seleksinya?” Tanya Laras dengan nada tenang, berusaha menyembunyikan kecemasannya.
“Besok, aku sudah minta izin sama pak Pram”
Laras pun mengahampiri Jo yang masih terus membersihkan gelas-gelas. Laras meraih tangan kekasihnya, lalu menepelkan punggung tangan Jo yang hangat ke pipinya.
“Aku yakin, kamu bisa” Kata laras dengan tatapan dalam.
Jo pun tersenyum bahagia, lalu mengecup kening kekasihnya itu, Jo selalu merasa paling beruntung karena hanya kepada dirinyaLaras memberikan cinta dengan sepenuh jiwa tanpa sisa.
***
Senyum Jo terus mengembang kala itu, seperti baru saja memenangi lotre atau undian berhadiah mendadak. Setangkai bunga mawar tersembunyi di balik punggungnya.
“Kamu ini aneh sekali hari ini” Kata Laras, dahinya berkerut.
Aku Lolos seleksi” Kata Jo sambil memberi setangkai bunga mawar itu.
“Serius??”
Jo mengangguk, lalu tersenyum dan menghambur memeluk kekasihnya itu. “Aku lolos seleksi dan besok mulai training selama seminggu” Ucap Jo bersemangat
Laras pun ikut senang, ia pun memeluk erat Jo, seolah tak ingin Jo pergi dari sisinya. Rasa gelisah mencuat di hati Laras, gelisah yang di khawatirkan menjadi rasa takut kehilangan dan rasa takut di tinggalkan.
“Selamat sayang” Kata laras, matanya kini mulai berair.
“Jangan nangis donk, aku cuma pergi selama delapan bulan kok, setelah itu kita adakan pesta pernikahan yang meriah, itu cita-cita kita kan?” Ujar Jo optimis, sambil mengusap air yang gergulir di pipi Laras.
Laras mengangguk. ia tak tau harus berkata apa, yang jelas Laras sudah paham artinya, ia harus sabar menunggu di temani senja yang tenggelam di pulau dewata ini.
***
Sore itu, Jo termenung di depan jendela sambil memandang riak air laut di kejauhan. Tatapannya yang kosong mengarah ke perahu-perahu nelayan yang berayun. Angin sore menerpa wajah Jo yang kurus dan kusut.
Jo yang seharusnya sedang berlayar mengarungi samudra yang tak berbatas, kini terduduk tak berdaya. Nampaknya Tuhan berkehendak lain, ia jatuh sakit kala mengikuti training. Dan itu  membuat semua kesempatan berlayar selama delapan bulan, demi berlembar-lembar uang Dollar Amerika sirna. Jo putus asa.
Jo tidak bisa kembali bekerja sebagai bartender di bar lamanya itu, karena mereka sudah menemukan pengganti dirinya. Untuk sementara kini ia bekerja sebagai tour guide seperti Laras. Tiap hari Jo selalu pulang larut malam dengan keadaan mabuk. Tenggorokannya tak pernah kering dari minuman keras. Laras tak pernah melihat lagi tatapan dan senyuman hangat Jo yang dulu, cahaya dari matanya seperti tergerus oleh harapan yang tak terwujud.
“Sayang, aku tidak enak badan, nanti malam bisakan kau antar aku ke Dokter” Ucap Laras sambil menghampiri Jo yang sedang melamun.
“Aku gak bisa, bule Australia itu minta aku temani ke Club, mereka biasanya memberiku tips banyak. Kau tahu kan kita sedang butuh banyak uang, jadi kau pergi sendiri sajaUcap Jo sambil menatap Laras dengan tatapan seolah ia telah  kehilangan nyawa seper-empat bagian.
“Jo, tolong berhentilah mabuk-mabukan dan pulang larut malam” Protes Laras, ia tak tahan dengan sikap Jo akhir-akhir ini.
“Sudah ku bilang! Kita ini butuh uang untuk menikah, ini demi keinginanmu kan? apa hubungannya dengan mabuk-mabukan” Timpal Jo.
“Jo! Aku tak butuh pesta pernikahan, aku hanya ingin menikah” Seru Laras.
Aku hanya ingin membuktikan kepada orang tua mu, bahwa aku memang layak!” Kata Jo dingin.
“Cukup Jo! Jangan jadikan orang tuaku alasan, bahkan mereka tak menutut apa-apa!!”
“Lalu mau mu apa?! Hah?! Aku gak siap ketemu orang tuamu! Sebelum aku merasa layak” bentak Jo dengan ekspresi marah.
Laras  tereperangah. Bahunya bergerak. Menjauh.
“Kamu gak ngerti Jo” Kata Laras lirih. Matanya mulai bersaput air.
Nafas Jo tersengal, ia benar-benar kesal. Laras tak mengerti perasaannya. Jo pun beranjak membanting pintu dan meninggalkan Laras seorang diri.
Laras membiarkan tubuhnya terduduk dilantai, seluruh tubuhnya bergetar. Ada rasa pedih yang menyelip keluar, mata Laras mulai berair deras seperti air sungai meluap, Laras menangis tersengal-sengal mencoba membendung tangisnya padahal tak ada seseorang pun disana yang melihatnya.
***
Malam itu Jo melangkah dengan lunglai keluar dari sebuah Club di kawasan Legian Kuta, jalanan masih saja ramai walau hampir larut malam. Masih banyak mobil-mobil yang terparkir di depan Club itu.  Jo berjalan menyesuri trotoar sambil menatap kearah langit, semeliwir angin segar membelai ubun-ubun kepalanya yang pening karena mabuk. Uang tips nya habis sehingga ia tak mampu naik taksi, Jo menarik nafas dalam sambil menyeret kakinya yang lemas.
Dalam hitungan seperkian detik terdengar dentuman keras yang memekakan dan membuat telinga Jo tuli mendadak. Lalu sesuatu menghantam Jo dengan amat keras, membuat tubuhnya terjatuh dan terseret beberapa meter. Seluruh kulitnya terasa perih, serpihan kaca pun mencap di tubuhnya. Debu-debu hangus yang terhirup olehnya membuatnya sulit bernafas. Jo tak dapat merasakan jari-jari tangan dan kakinya lagi, sesaat ia tak sadarkan diri tergelatak tak berdaya.
***
Langit malam itu kini berubah menjadi hitam pekat karena asap dan nyala api yang tersisa. yang terdengar hanyalah riuh teriakan-teriakan histeris, lolongan ambulan membuat semua terlihat benar-benar mencekam. Tubuh-tubuh itu bergelimpangan tak berdaya, sebagian korban tak di kenali karena hangus.
Bom Bali pada 12 oktober itu memang mimpi buruk bagi semua orang. Mimpi buruk bagi Jo dan masa depannya. Ia harus melewatkan harinya-harinya tertanam di atas kursi roda karena akibat kejadian itu kedua kakinya remuk tak terselamatkan.
Setiap hari Jo harus merelakan rasa sesak yang selalu menghimpit dadanya itu semakin mendesak, terkadang Jo lupa bagaimana harus bernafas. Jo semakin terpuruk, dunia seolah telah meninggalkannya.
Laras tak pernah lagi menampakan wujudnya di depan Jo, wanita itu menghilang bagaikan asap yang tersapu angin kencang. Jo bahkan sempat merasa lebih baik mati saja karena meski bernapas, Jo seperti orang mati yang hanya tinggal kulitnya saja bahkan jantungnya pun menjadi kering, Jo hidup seperti orang bodoh yang tidak bisa membedakan air mata dan tawa.
“Misterr?” kata Bagas.
Jo tersadar dari lamunannya dan terlalu berani membentangkan semua kenangan pahitnya itu.
I’m hungry” Kata Bagas sambil cemberut.
Jo lalu tersenyum getir, sepertinya ia terlalu lama melamun sehingga membuat murid kesayangan nya itu merasa lapar.
Let’s go home” kata Jo. Bagas pun langsung beringsut dari bangku taman, ia tak sabar lagi merasakan kue-kue hangat buatan Oma yang masih baru diangkat dari pemanggang.
“Bagas!!” sesosok wanita memanggilnya dari kejauhan.
Bagas kaget melihat ibunya yang menyusul ke taman. Anak itu pun berlari mengahampiri wanita itu.
Mata Mister Jo terbelik tak percaya mendapatkan seseorang yang masih berani kembali muncul di kehidupannya begitu saja. Apakah kenangan yang ia bentangkan barusan seperti asap dalam lampu Alladin, bila di gosok maka sosok kenangan itu yang muncul. Ini betul-betul suatu kebetulan yang gila.
“Apa kabar Mister Jo?” Wanita itu tersenyum.
Jo menyunggingkan senyum dengan sekuat tenaga, sambil cepat-cepat mengatur nafas, ia tahu akibatnya bila ia lupa bernafas. Jo berusaha mengelurkan suara walau sulit.
“Kau sendiri apa kabar?” Nada suaranya sedikit dipaksakan
“Baik” kata Laras sambil tersenyum lagi.
Laras  membantu Jo untuk mendorong kursi rodanya. Laras tak bersuara lagi sepanjang jalan, mereka sama-sama terdiam. Sulit memang berbicara dengan orang yang pernah pergi begitu lama dari kehidupan kita dan kembali lagi tanpa aba-aba dan pertanda, mereka seolah dengan gampangnya menjebol pertahanan yang telah bertahun-tahun di bangun. Bagaimanapun Jo masih merasa dikhianati.
Bagas pun langsung menghambur menuju dapur Oma, kini hanya mereka berdua yang tersisa di halaman rumah.
“Maafkan aku Jo, Aku pergi tanpa pamit.” terdengar suara Laras yang parau.
Mulut Jo rapat oleh getir, tubuhnya kini bergetar dan hati Jo terus berseru. Cukup!Tolong diam dan pergi!
Aku hanya mencoba yang terbaik demi Bagas” lanjut Laras.
Jo masih terdiam,Ia tak mengerti perkataan Laras yang menyebut Bagas
Kau boleh membenciku tapi jangan membenci Bagas” Kata Laras. Matanya kini berkaca-kaca “Bagaimanapun, dia anak kita Jo”
Jotertegun dan mematung.Langit mulai keruh oleh awan mendung.Hujan pun turun dan rasanya tak mau berhenti.Tiap rintik menusuk bagai jarum.Laras pun pergi meninggalkan Jo, ia merasa tugasnya sudah selesai untuk memberitahu Jo fakta yang sebenarnya. Laras hanya tak ingin Jo salah paham seumur hidupnya, bagaimana pun meninggalkan Jo adalah pilihan. Jo tak pernah mengerti dan telah salah mengira keinginan Laras.
Kelenjar air mata yang sudah kering kini memompa deras air mata yang membuat seolah pipinya seperti meleleh. Jo menangis terseguk, ia tersadar selama ini ia telah terpenjara oleh keinginannya menjadi ‘Layak’ padahal Laras tak butuh ‘Layak’ versi Jo.Untuk memahami seseorang adalah hal yang tak bisa kau lakukan walau kau hidup bersamanya bahkan mencintainya.
-The End-
Cerpen untuk Mister Jo, yang mencoba menemukan kebahagiaanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar