Sophie menoleh kearah meja didekat jendela Cafe itu, Ada
seorang laki-laki berambut pirang disana berbicara kepada seorang pelayan.
Mendadak saja jantungnya jadi berdebar keras dan tangannya berkeringat.
Erich menoleh kearah Sophie yang sedang mengamati Michael
lalu tersenyum samar lalu menggiring Sophie menghampiri Michael yang masih
berkutat dengan menu makanan. Mendengar suara langkah mendekat, Michael mengangkat
kepalanya lalu mata birunya langsung tertuju pada Sophie dan senyumnya pun
langsung mengembang. Kilatan mata serta senyum maut membuat sekujur tubuh
Sophie mematung.
“Kau tidak keberatan kan aku mengajaknya makan malam?”
Tanya Erich.
“Tentu saja tidak, dengan senang hati,” jawab Michael, “Senang melihatmu Sophie.” Michael tersenyum lagi.
Sophie mengerjap dan buru-buru menjawab,
“Terimakasih,
senang melihatmu juga,” -hening sejenak dan seolah sedang mengumpulkan nyali untuk
bertanya - “aku jarang melihat mu keperpustakaan lagi.” kata-kata Sophie
bergetar saking gugupnya, senyumnya terlihat kaku.
“Ah ya, akhir-akhir ini aku sibuk dengan urusanku
di kampus, jadi aku
tak sempat berkunjung.” Kata Michael.
Sophie mengangguk
seolah baru saja mengetahuinya, padahal ia sudah tahu hal tersebut dari Erich.
Erich menceritakan banyak hal tentang Michael saat diperjalanan. Ia menceritakan
bahwa Michael adalah anak tunggal dan seorang mahasiswa yang mengambil studi
masternya di bidang ekonomi di salah satu Universitas negri di kota itu.
Erich melirik
Sophie dan menyadari rasa gugup yang dialamai gadis itu. Erich pun menarik
kursi disebelahnya dan mempersilahkan Sophie duduk, lalu memegang pundak Sophie
dengan lembut sambil bergumam “Santai dan duduklah dengan manis!”
“Kau mau pesan apa? Disini Lasagna-nya yang paling enak.” Michael kembali menoleh kearah Sophie.
“Kalo begitu, aku pesan Lasagna,” Kata Sophie mencoba bersikap santai.
“Tambahkan satu Lasagna, kentang dan Mitternachsuppe” Kata Erich kepada pelayan.
Selama makan
malam bersama itu, Sophie merasa tenggelam dalam mata biru Michael. Ia tidak
bisa melakukan apa-apa selain memandangi wajah pria dihadapannya itu,
mendengarkan setiap perkataannya dan seolah suara pria itu menyihirnya. Kini Ia
bisa melihat bagaimana pria yang dikaguminya itu berbicara banyak hal bahkan tertawa.
Sesuatu yang tak pernah bisa Sophie bayangkan sebelumnya.
Malam itu sungguh
malam yang indah bagi Sophie, tak hanya makan malam, Erich membuat Michael
mengantarkan Sophie pulang malam itu.
“Maafkan aku Sophie, seharusnya aku yang mengantarkanmu
pulang tapi aku harus pergi sekarang” tiba-tiba Erich mengarang sebuah alasan.
“Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri,” Kata Sophie.
“Tidak! Michael kau harus mengantarkannya untukku.
Oke?”
“Tentu.” Kata Michael singkat.
“Aku rasa, Ti—” kata-kata Sophie terhenti ketika melihat mata Erich
yang melotot lalu mengerling seolah berkata ‘Bodoh! menurut saja!’
Sophie pun mendesah dalam hati. Astaga, Erich terlalu
berlebihan, mengajaku makan malam saja sudah cukup. Sophie pun tersenyum ringan “Baiklah jika
Michael tidak keberatan,” Ucap Sophie ragu.
Akhirnya Sophie menuruti apa kata Erich, Michael
mengantarkan Sophie menggunakan mobilnya. Sepanjang perjalanan mereka
berbincang dan Sophie selalu membujuk agar jantungnya segera tenang. Sesampainya
di tempat tidur, jantung Sophie masih berdebar dan wajahnya merah padam, tidak
diragukan lagi malam ini adalah malam paling menyenangkan dihidup Sophie.
###
Hari sabtu adalah hari yang indah, setidaknya itu yang
dipikirkan Sophie. Meskipun suhu udara sangat dingin mengigit, langit sangat
mendung dan salju terus turun. Sophie merasa hari-harinya di musim dingin kali
ini sangat menyenangkan.
Bagaimana tidak? Dalam sebulan ini ia sering makan malam
bersama Micahel dan Erich. Tidak hanya itu mereka terkadang menonton
film dan konser music bersama, bahkan bermain Ski bersama.
Alasan lainnya adalah Michael selalu mengantarnya pulang
ketika mereka selesai makan malam atau nonton bersama. Dan itu memberi
kesempatan kepada dirinya untuk lebih mengenal Michael atau sekedar ingin
bersamanya.
Dan ia merasa dunianya telah berubah. Sophie meninggalkan
dirinya yang dulu penyendiri dan hanya berteman dengan buku-buku tebalnya. Dulu
Ia sangat membenci
musim dingin yang membuat dirinya merasa semakin kesepian karena tak banyak
aktifitas yang bisa ia lakukan di musim itu selain
bekerja dan membaca buku. Sophie menyadari menghabiskan waktu bersama Erich dan Michael, ia mendapati dirinya
sering tertawa dan mengalami hal-hal baru yang paling menyenangkan.
Pagi itu Sophie sedang memandang layar ponselnya, Erich sudah mengintrogasinya
memalui SMS. Sophie pun tersenyum membacanya SMS-SMS Erich.
Bagaimana semalam? Dia tidak menurunkanmu ditengah perjalanan
kan?
Tentu saja tidak. Kemarin malam sangat menyenangkan.
Terimakasih telah mengajak makan malam bersama Michael lagi.
Satu menit kemudian balasan dari Erich tiba. Sophie
kembali menatap layar ponselnya.
Itu
tidak gratis, kau harus mentraktirku makan
malam!:D
Tentu!
J.
Malam ini, kita bertemu di halte bus dekat perpustakaanmu, banyak hal yang akan aku ceritakan tentang Michael jika
kau mentraktirku makan malam yang mahal
haha :D
Oke. Deal. Sampai ketemu nanti malam.
Hidangan Wiener schnitzel telah membuat perut Sophie dan Erich kekenyangan malam itu, sehingga mereka berjalan perlahan menyusuri trotoar yang membeku menuju gedung tempat tinggal Sophie. Sophie melilitkan syalnya merahnya rapat-rapat, ia mendapati dirinya menggigil dan Erich memasukan lengannya ke dalam saku mantelnya.
“Ah! aku merindukan musim panas, seperti dalam novel itu,” gumam Erich.
“Ah! kau menyukainya juga?” Kata Sophie dari balik syalnya.
“Lumayan. Michael meminjamkannya padaku dan sepertinya
kau sangat menyukai novel itu. aku bisa melihat
namamu memenuhi daftar peminjam buku,” kata Erich terkekeh.
Sophie
tertawa kecil. “Ya, aku sangat menyukainya.”
Akhirnya mereka tiba di depan gerbang apartemen Sophie.
Erich mengeluarkan
tangannya dari saku. Lalu menyodorkan secarik kertas.
“ini! Karena kau benar-benar mentraktirku makanan enak.”
Sophie mengangkat alis melihat secarik kertas yang
tertera sederet nomor, itu nomor ponsel Michael. Sophie pun mendongak
menatap wajah Erich dengan tatapan bertanya.
“Aku memberikannya padamu, karena Michael meminta nomor ponselmu padaku
tadi siang,” Jelas Erich.
Sophie menatap tak mengerti. “Maksudmu? Dia meminta nomor ponselku?”
Erich mengangguk kecil. “Kabar baik bukan? Sepertinya dia mulai tertarik padamu,
semoga kau senang,”
Sophie menatap wajah Erich yang masih tersenyum dengan
ekspresi tak percaya. Namun perlahan bibir Sophie ikut tersenyum, ia terlihat
gembira. Ia tak percaya kemajuan mendekati Michael begitu pesat.
“Sebaiknya kau segera masuk,” kata Erich
sambil meniupi tangannya yang kedinginan.
Sophie
menoleh kearaha Erich dan berkata, “kenapa kau membantuku mendekati Michael?” Sudah lama Sophie ingin bertanya.
Erich
balas mentapnya dan mengangkat alisnya. “Hm?”
“Kenapa kau bersikap baik padaku?”
“Ah, itu. Sederhana saja. Aku sahabatnya Michael dari
kecil dan itu gunanya teman bukan? Dan aku percaya padamu,” balas Erich ringan.
“Bagaimana, Jika dia tidak menyukaiku? Aku tidak sempurna.”
“Mudah saja. akan kubuat dia menyukaimu dan menurutku kau sudah cukup
sempurna.” Erich mengangkat bahu.
Sophie
terkekeh pelan namun
wajahnya sedikit memanas “Kau berkata seperti itu karena aku sudah mentraktirmu
kan?”
Erich mengerutkan hidung lalu kembali tersenyum. “Bisa dibilang aku gampang disogok dengan makanan enak.
Tapi kau tak perlu khawatir aku akan membantu
hubungan Kau dan Michael.”
“Kau sudah seperti ibu peri saja,” gurau
Sophie sambil tertawa.
“Kemarin kau bilang aku peramal, sekarang Ibu
Peri.” Erich menggeleng-geleng
sambil tertawa. “Kalau begitu kau harus menuruti apa kataku,
sebaiknya kau
masuk kedalam, sebelum udara dingin merubahmu jadi es.”
“Ok.
Gute Nacth!11 Erich!” Sophie
tersenyum dari balik syalnya
“Gute
Nacth!” Erich pun beranjak meninggalkan
Sophie.
Setelah
itu Sophie
berlari kecil menaiki tangga dan memasuki flatnya. Beberapa menit kemudian ia
menyadari sesuatu. Menyadari tentang mimpi itu sebagai sebuah pertanda. Bahwa
memang Erich adalah orang yang akan menolongnya mendekati Michael.
Dan ia harus menuruti apa kata ibu Peri nya itu. Terdengar konyol memang, tapi
apapun itu dia senang Erich bisa membantunya. Sophie pun memandang secarik
kertas pemberian Erich dan mencatat nomor-nomor itu dalam ponselnya, sudut
bibir Sophie tanpa sadar terus merekah seperti bunga-bunga dimusim panas.
###
Sophie melirik jam dinding di perpustakaan itu. Tepat jam
7 malam. Ini sudah waktunya jam pulang namun ia seperti kehabisan ide akan
melakukan apa malam ini. Ia mendesah pelan lalu mengalihkan perhatiannya ke
layar ponselnya, ditatapnya ponsel itu lekat-lekat.
“Ponselmu akan cepat rusak jika kau tatap terus seperti
itu” Kata Grace tiba-tiba sambil mendorong troli dengan tumpukan penuh buku.
Sophie pun menoleh kearah Grace sambil menarik nafas dan
membuangnya perlahan lalu menjejalkan ponselnya kedalam laci.
“Erich, tidak menjawab telepon mu?” tanya Grace.
Sophie pun menggeleng.
Sudah
seminggu Sophie tidak bertemu atau makan malam dengan Erich maupun Michael.
Erich mungkin sedang pergi liburan bermain ski di Schwarzwald tapi mengapa dirinya tak menjawab telepon
Sophie bahkan tak ada pesan darinya dan itu membuat suasana hatinya semakin
memburuk dan ini tidak seperti biasanya. Sebenarnya ini adalah kesempatan untuk pergi berdua saja dengan Michael. Namun kesibukan
Michael yang membuat hal itu tak memungkinkan dilakukan pada waktu dekat. Walau Sophie tahu bukan itu alasanya Ia tak
pernah berani mengajak Michael lebih dulu dan ia masih butuh bantuan Erich.
“Kenapa kau tidak menelepon Michael?” Lanjut Grace.
“Apa?” Sophie menatap Grace.
“Siapa tau, Michael sedang tidak sibuk, setidaknya kau
harus bertanya padanya terlebih dahulu.” Grace mengangkat bahu.
Sophie pun menyadari sesuatu karena perkataan
Grace,
mungkin saja Erich sengaja tak menjawab teleponnya agar dirinya tak
terlalu bergantung pada pria itu dan bermaksud melatihnya memberanikan
diri mengajak Michael menemaninya makan malam. Sophie pun mencari nomor Michael
di daftar kontaknya, setelah ragu beberapa detik, ia harus
memberanikan diri.
Harus!
Belum
sempat tanganya menyentuh tombol Call, tiba-tiba
ponsel Sophie berdering, dan nama Michael tertera di layar ponselnya. Mata
Sophie membeliak seolah tak percaya dan segera menjawab telepon Michael.
“Michael?”
Kata sophie. Grace dan Sophie pun saling menatap, mereka tak menyangka Michael
menelepon Sophie saat itu juga.
“Hallo,
Sophie” terdengar suara Michael di sebrang sana “Kau punya waktu? Apakah kau
bisa menemuiku sekarang?” kata Michael.
“Ya, tentu. Kau sedang dimana?” kata Sophie
Cepat
“Rumah
Sakit”
Seketika
tenggorokan Sophie pun tercekat.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar