Malam itu, Sophie segera
mengenakan mantel tebalnya dan memakai sepatu bootsnya, dengan langkah lebar ia
segera keluar gedung dan memberhentikan taxi yang lewat. Sesampainya di rumah
sakit, aroma obat-obatan
menguar dan membuat kepala Sophie sedikit pening. Ia terus menelusuri lorong
dan mencari ruangan yang di beritahu Michael.
Ketika Sophie sampai keruangan inap, ia melihat pria itu
sedang duduk bersandar pada bantal –bantal di atas ranjang. Kepalanya dibebat
oleh perban, tangan kanannya terbungkus Gips yang menggantung didadanya. Pria
bermata hijau itu pun menoleh kearah pintu masuk ketika Sophie datang. Erich
tersenyum lebar dan terlihat ceria seperti biasanya, walau wajahnya agak sedikit
pucat dan terdapat memar. Disampinya ada Michael yang setia menemaninya.
“Erich?” Kata Sophie terkejut.
“Ya. ini aku.” Erich memamerkan Gipsnya.
“Terimakasih sudah datang Sophie, Maaf merepotkanmu,” kata Michael.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” Sophie menatap
Michael meminta penjelasan.
“Erich, mengalami kecelakaan saat bermain Ski, tangan
kanannya patah untungnya tidak terlalu parah. Kau tak
perlu khawatir besok dia
bisa pulang,” kata Michael menjelaskan.
“Kau baik-baik saja?” Tanya Sophie dengan nada cemas.
Erich mengangguk. “Hanya kecelakaan kecil, sebenarnya aku tak setuju Michael memberi tahumu
ketika aku masih dirumah sakit, tapi ya sudahlah kau sudah ada disini.”
kata Erich lalu mengerling kearah Michael. Alis
Sophie mengerut tak mengerti perkataan Erich ‘tidak setuju memberitahunya’ dan
itu sedikit membuat Sophie kesal.
“Kau
…” Sophie mulai membuka mulut lalu berhenti sejenak ia sadar suaranya terlalu
keras “Tentu saja kau harus memberitahuku! itu gunanya teman!” kata Sophie
kesal.
Michael
dan Erich menoleh berbarengan kearah Sophie, mereka mengerjapkan mata memandang
Sophi. ini pertama kalinya mereka Sophie terlihat marah.
“Maafkan
aku. Aku tak ingin membuatmu cemas dan melihat wajahku yang kacau.” Kata Erich
dengan nada bercanda, lalu ia tersenyum kecil “Sophie bolehkah aku meminta bantuanmu?”
Sophie
mengerjapkan mata “Tentu saja. apa yang harus aku
lakukan?”
“Temani Michael makan malam lalu kalian pulanglah
kerumah, sudah satu malam dia menungguku disini,” kata Erich memohon.
“Lalu bagaimana dengan dirimu?” Kata Sophie dan Michael berbarengan.
“Tak usah khawatir, ada perawat yang menjagaku. Aku
baik-baik saja.” Erich menatap mata Sophie dengan tatapan memohon.
Lalu Sophie melirik kearah Michael, wajah Michael
nampak kusut dan rambutnya berantakan sepertinya ia memang kelelahan dan tidak tidur semalaman. Sophie menatap
Erich kembali dan ia masih memohon.
Sophie
membuang nafas dan menyerah. “Baiklah, telepon aku jika perlu sesuatu” Kata Sophie sambil menyentuh
pundak Erich.
“Besok
aku akan menjemputmu” Kata Michael sambil tersenyum samar.
Sophie melangkah meninggalkan ruangan dengan ragu.
Ia tau jika Erich memang sedang memanfaatkan situasi ini agar mereka bisa pergi
berdua saja. namun Sophie merasa ini waktu yang tidak tepat ketika
Erich sedang sakit
dan terbaring dirumah sakit. Tapi pada akhirnya ia menyerah dan bukankah
perintah ibu perinya itu harus ia turuti?
###
Makan malam itu harusnya menjadi makan malam yang spesial bagi Sophie. Tetapi Brühwurst dan kentang goreng itu terasa hambar, mungkin akibat aroma rumah sakit, ia menjadi kehilangan selera makannya.
“Kau tidak menghabiskan makananmu?” Kata Michael
“Sepertinya aku sudah kenyang.” Sophie meletakan sendoknya, lalu mengelap mulutnya
dengan serbet. “Kau terlihat lelah sekali,” kata Sophie kepada Michael.
Michael mengangguk “Kemarin aku mendapat kabar bahwa
Erich mengalami kecelakaan ketika bermain Ski, tanpa pikir panjang
aku langsung pergi menjemputnya dan membawanya kerumah sakit,” Michael menarik
nafas dalam-dalam. “Ia tak sadarkan diri selama 18 jam, dan aku terus
menemaninya. Ketika ia siuman tadi, aku langsung meneleponmu.”
“Kau pasti sangat cemas.” Walau Sophie
sebenarnya ikut cemas, ia tak tahu jika Erich sempat pingsan.
Michael mengangguk lagi “Tapi kau tak perlu khawatir, aku
yakin dia baik-baik saja.” Michael tersenyum lebar walau mata birunya terlihat
meredup akibat kelelahan.
“Sophie.” Kata Michael lirih, ”jika kau tak keberatan maukah kau menemanikau ke
suatu tempat?”
Sophie menelan ludah dan seketika jantungnya kembali berulah.
Akhirnya
mobil Michael tiba di pelataran bangunan sebuah galeri yang belum
pernah Sophie kunjungi. Nampaknya galeri itu sepi dan sudah mau tutup. Malam
ini sungguh diluar dugaan, ia tak menyangka sedikitpun Michael akan meminta
menemaninya kesuatu tempat. Apakah ini bisa disebut berkencan? Sophie mencoba
menjernihkan pikirannya walau hatinya terus berseru.
“Disini
tempatnya?” Kata Sophie heran. Michael mengangguk lalu turun dari mobil dan
membukakan pintu untuk Sophie.
“Semoga
saja belum tutup” kata Michael tersenyum.
Sophie
bergegas mengikuti Michael yang sudah melangkah lebar kearah galeri. Michael
menyelinap melewati satu dan dua pengunjung yang keluar dari galeri itu, lalu
seorang penjaga galeri itu berbicara pada Michael jika galerinya sebentar lagi
akan ditutup. Tetapi Michael membisikan sesuatu kepada petugas itu, Sophie
hampir tak bisa mendengar apa yang Michael katakan. Petugas itu melirik jam
tangannya.
“Sepuluh
menit saja!” kata penjaga itu kepada Michael.
Michael
melirik Sophie, lalu tersenyum dan mengajaknya menelusuri lorong yang penuh
dengan lukisan-lukisan indah di kedua sisi temboknya. Sebenarnya apa yang akan
dilakukan Michael di galeri ini sampai mau membujuk seorang petugas? Bukankah dia
sedang kelelahan dan butuh tidur dari pada mengamati lukisan-lukisan disini. Di
galeri ini hanya mereka berdua pengunjung yang tersisa.
Jantung Sophie terus berdegup kencang, telapak tanganya terasa dingin.
Tiba-tiba Michael berhenti melangkah, lalu berbalik menghadap Sophie.
“Kita
sudah tiba” kata Michael. Ia pun menujuk satu lukisan di sudut
ruangan itu.
Sophie pun menoleh dengan kening berkerut kearah yang
ditunjukan Michael dan seketika mata Sophie melebar kaget ketika melihat
lukisan itu. Lukisan dengan awan-awan bergerombol seperti domba-domba, pohon
rindang dengan bangku tua disebelah kanan tak lupa seorang laki-laki yang
sedang duduk disana.
“Aku
pernah melihat lukisan itu,” kata Sophie pelan lalu melangkah mendekati lukisan itu.
“Kau pasti pernah
melihatnya disebuah pameran galeri kan?” kata Michael.
Sophie
mengerjap “Bagaimana kau tahu?”
“Aku
melihatmu ketika itu, Kau tahu siapa pelukis lukisan ini?”
Sophie menggeleng. Ia terlihat
masih bingung
“Erich yang melukisnya.”
###
Galeri
itu terasa hening dan dingin, hanya suara Micahel yang menggema yang menandakan
masih adanya kehidupan di Galeri tersebut. Sophie mendongak menatap wajah Michael dengan tatapan tak
percaya dengan apa yang dikatakannya. Erich yang melukisnya? Sophie tidak tahu
kalau Erich seorang pelukis.
Seolah bisa membaca pikiran Sophie. Michael pun
mengangguk “Dia memang seorang pelukis. Ia melukisnya
karena terinsipirasi dari novel yang aku pinjam dari perpustakaanmu,”
“Summer is Here?” tanya Sophie dengan dahi berkerut.
Michael
mengangguk lagi. Mata
birunya menerawang menatap lukisan didepanya “Ini adalah lukisan pertamanya
setelah ia berhenti melukis dengan waktu yang cukup lama. Tiga tahun lalu Erich kehilangan ayah, ibu dan
adik perempuannya karena kecelakaan pesawat ketika akan pergi berlibur ke Dubai,”
jelasnya Michael mata birunya semakin meredup. ”Semenjak kejadian itu ia
tak pernah mau melukis lagi, ia seperti larut dalam kesedihan. Sampai akhirnya
aku mengajak dia tinggal bersamaku di kota ini dan 2 bulan yang lalu dia
menghasilkan lukisan yang ada dihadapanku ini.
“Aku
menyarankannya untuk mendaftarkan lukisan ini kesebuah pameran kesenian.
Disanalah kami melihatmu berdiri
terpaku dan seolah terhanyut oleh lukisan Erich. Aku segera tau jika kau adalah
Sophie yang aku selalu jumpai di perpustakaan, dan aku yakin kau juga pernah
membaca ‘summer is here’” Michael menoleh dan menatap kearah Sophie
sambil tersenyum simpul. Sophie mengerjap-ngerjap mata seolah tak percaya apa
yang dikatakan Michael.
“Melihat
reaksimu melihat lukisan itu Erich percaya ia tidak kehilangan kemampuanya. Ia masih
bisa melukis, bukan asal melukis tapi seperti memberi ruh di setiap guratan
lukisannya karena itulah kita seolah hanyut melihat lukisan ini, seperti di
ingatkan pesan pada novel itu”
Sophie
terdiam dan menatap mata biru Michael tanpa berkedip. Semua yang diceritakan
Michael seperti kebetulan yang sempurna, sesaat perasaannya menjadi tidak karuan.
“Sudah
sepuluh menit, sebaiknya kita pulang” kata Michael ia tersenyum lalu melangkah
meninggalkan galeri tersebut, Sophie pun mengikuti punggung Michael wajah
Sophie masih diliput pertanyaan-pertanyaan dan kepalanya terasa berkabut.
Michael menghentikan langkahnya ketika sudah melewati pintu keluar dan berbalik
menghadap Sophie.
“Sophie,
kau mau berjanji merahasiakan ini dari Erich?” Kata Michael. “Jika ia tahu
kalau aku menceritakan rahasianya kepadamu ia akan membunuhku, jadi mau kah kau
berjanji?” Tanya Michael sekali lagi.
Sophie
mengangguk kecil. “Aku janji.”
Michael
tersenyum senang “Erich adalah orang yang selalu ceria, dan ia ingin membuat
orang disekitarnya bahagia.” Micahel berhenti sejenak lalu menarik nafas dan
membuangnya perlahan. “Namun aku tahu dia adalah orang yang pandai menyembunyikan
kesedihannya, dia tidak suka membuat orang disekitarnya khawatir ataupun cemas
oleh sebab itu dia tidak menceritakan masa lalunya padamu”
Micahel
pun berjalan menuju parkiran, dan Sophie pun mengikutinya kembali, namun ada
hal yang ingin Sophie tanyakan kepada Michael. Hal yang sangat menganggunya.
“Tapi,”
Sophie menelan ludah “Kenapa kau menceritakan masa lalu Erich kepadaku?”
Michael
urung membuka pintu mobilnya ketika mendengar pertanyaan Sophie. Michael
menatap Sophie dengan mata birunya yang kini terlihat nanar tapi tetap
tersenyum kecil.
“Karena
aku mulai menyukaimu,” hening sejenak. “Aku ingin kau mengenal orang-orang yang
ada disekitarku.”
Sophie
menatap Michael tak berkedip. Ia terkejut mendengar pengakuan pria itu. Ia tak
percaya dengan apa yang di dengarnya. Michael si pangeran bermata biru itu menyukainya?
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar